Sepotong Hati untuk Anakku

Sepotong Hati untuk Anakku

Brillyan Vandy Yansa - detikNews
Minggu, 22 Mei 2022 06:07 WIB
Jakarta -

Pagi itu, satu dari 7 kamar di rumah singgah Yayasan Rumah Satu Hati lebih riuh dari lainnya. Sarina Ela sedang menyiapkan perlengkapan anaknya untuk menuju Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Anaknya, Serafina yang masih berusia 20 bulan memperoleh jadwal kontrol dengan dokter terkait penyakit bawaan yang diidapnya.

Sejak lahir, Serafina terlihat berbeda dari bayi-bayi seusianya. Badannya kuning. Akibat terkendala informasi dan layanan Kesehatan, Sarina Ela hanya dapat membawa anaknya yang menguning ke bidan di dekat rumahnya.

"Awalnya saya itu konsultasi ke bidan dulu kan, bidannya bilang dijemur, dikasih ASI banyak-banyak, udah dijemur sampai kayak udah menghitam gara-gara kelamaan dijemur kan, saya khawatir sekali karena kuningnya sudah satu minggu nggak hilang-hilang terus dua minggu nggak hilang juga," ungkap Sarina Ela dalam program Sosok Minggu, (22/5/22).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tidak kunjung berubah, Sarina Ela membawa Serafina ke Puskesmas di kota Pontianak. Dari situ Sarina Ela mendapati fakta, anak bayinya menderita penyakit atresia bilier. Menurut keterangan dokter puskesmas di kampungnya, penyakit itu disebabkan oleh kelainan bawaan lahir yang ditandai dengan gangguan saluran empedu pada bayi.

Hal serupa juga dialami oleh Maria yang berasal dari Palembang. Anaknya, Kalfasio Aburizam Aksa yang baru berusia 14 bulan didiagnosa mengidap atresia bilier, atau penyumbatan saluran empedu. Kini, ia tinggal satu atap dengan Serafina untuk menunggu proses transplantasi hati berjalan.

ADVERTISEMENT

Yayasan Rumah Satu Hati tidak asing dengan cerita serupa. Hery, ketua Yayasan Pejuang hati menyebutkan, saat ini ada 7 keluarga lain yang singgah untuk memperoleh pengobatan di RSCM. Dari sekian banyak keluarga yang pernah singgah di sana, keterbatasan informasi terkait atresia bilier menjadi faktor nomor satu yang membuat kondisi penderita sulit untuk disembuhkan.

"Mereka terlambat datang ke rumah sakit, jadi karena informasi yang mereka dapat itu minim. Jadi mereka tahu anaknya kuning hanya dijemur aja. Kalau kata orang tuanya sampe gosong pun nggak hilang-hilang kuningnya. Sampai 4 bulan baru dibawa ke rumah sakit. Padahal, anak-anak ini cukup dari kelahiran sampe 3 bulan itu, hatinya sudah mengalami kerusakan berat. Jadi banyak anak-anak yang tak tertolong, jadi mereka hanya mengharapkan transplantasi hati," ucap Hery.

Data yang dihimpun Yayasan menyebutkan, sepanjang tahun 2020 saja terjadi 52 kematian dari 120 kasus temuan bayi dengan atresia bilier. Pada skala internasional, Indonesia menduduki ranking ke-4 di dunia. Kasus yang terjadi rata-rata mencapai 1 : 10.000 hingga 15.000 angka kelahiran. Artinya, setiap hari lahir 1-2 anak yang mengalami atresia Bilier.

Inilah yang menjadi salah satu latar belakang dibentuknya Yayasan Rumah Satu Hati. Hery mengakui, para orang tua penderita atresia bilier sangat membutuhkan dukungan baik material hingga immaterial seperti keterbukaan informasi.

"Setelah mendalami ceritanya, dari harus cek lab, harus cari donor, harus transplantasi hati, akhirnya saya pikir, wah memang sisinya terlalu banyak ini. Memang harus ada orang yang membantu mereka untuk bisa mendampingi setiap tahapan pengobatannya," jelas Hery.

Lebih lanjut Hery menjelaskan, perlu biaya besar untuk mempertahankan anak dengan atresia bilier.

"Biaya screening untuk sampai dia menuju transplantasi hati itu kisaran 60-80 jutaan, terus biaya lab yang di luar negeri bisa mencapai untuk anak dan calon donornya 20-an juta," jelasnya.

Hery mengungkapkan, ada sebagian pengeluaran yang ditanggung oleh negara melalui BPJS. namun ada beberapa kebutuhan besar lain yang tidak bisa ditopang, "Kalau kebutuhan anak-anak ini ya, susu 6-9 juta perbulan, lalu perlengkapan balita yang bisa mencapai 1 jutaan. lalu biaya lainnya kayak transportasi dan segala macamnya bisa mencapai dua juta per anak seperti dia harus datang ke Jakarta untuk transplantasi hati, karena transplantasi hati berpusat di Jakarta. Coveran BPJS itu memang terlihat dari sisi medisnya, tapi di luar medisnya apalagi di bagian gangguan fungsi hati pada anak ini memang berhubungan dengan hal-hal lain seperti sisi sosialnya."

Kini, yayasan yang digerakkan oleh Hery dan rekan-rekannya semakin besar. Dimulai dari beberapa orang yang peduli dan senasib, Yayasan Rumah Satu Hati kini beranggotakan para orang tua yang merasa terbantu oleh keberadaan komunitas itu.
"Kita ngumpul bareng dan membentuk Gerakan Pejuang Hati Indonesia. Setelah itu, kita bikin acara kerelawanan, bantuan dan segala macam, sampai hari ini sifatnya lebih ke arah sosialisasi gitu," kata Hery.

Selama proses menunggu Tindakan operasi transplantasi hati, sering kali orang tua yang telah menjadi donor datang ke rumah singgah. Bukan hanya memberi dorongan dan semangat, mereka juga membantu mengurus administrasi BPJS bagi mereka yang belum berpengalaman.

Begitu pula dengan para orang tua yang anaknya masih mengidap atresia bilier. Mereka tetap saling menjaga di tengah kondisi yang tidak menentu dan jauh dari sanak keluarga. Berbagai upaya mereka lakukan agar anaknya segera selamat dari penyakit yang mematikan.

"Apa sih yang tidak untuk anak? Jangankan sepotong hati, nyawa saja kita kasih untuk anak. Karena memang demi anak, orang tua mempertahankan apa saja agar anak bisa hidup," ungkap Maria.

Halaman 2 dari 3
(vys/ids)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads