Jakarta -
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) buka suara soal ujaran berbau SARA yang diunggah Rektor Institut Teknologi Kalimantan (ITK), Budi Santosa Purwokartiko, di akun media sosialnya. Kemendikbudristek sedang berkoordinasi dengan pihak LPDL untuk menindaklanjuti unggahan tersebut.
"Tim Dikti berkoordinasi dengan LPDP sudah menindak lanjuti," kata pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal Pendidikan Tingggi, Riset, dan Teknologi (Dirjen Diktiristek), Profesor Nizam, saat dihubungi, Minggu (1/5/2022).
Nizam mengatakan Kemendikbudristek sangat menyayangkan dosen yang membuat ujaran berbau SARA di media sosial. Dia menyinggung norma akademisi dan kode etik reviewer LPDP.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami sangat menyayangkan kalau dosen sampai membuat ujaran yang bernuansa SARA di media sosial. Apalagi sebagai seorang reviewer terikat dengan kode etik reviewer. Kalau betul itu tulisan yang bersangkutan, maka telah melanggar norma sebagai akademisi dan reviewer Dikti/LPDP," ujarnya.
Nizam mengingatkan dosen di seluruh kampus tidak membuat ujaran yang menimbulkan kebencian dan bernuansa SARA di media sosial. Sebab, kata Nizam, kampus merupakan tempat para intelektual mencerahkan masyarakat.
"Kita selalu mengingatkan agar dosen dan mahasiswa tidak membuat ujaran kebencian dan ujaran yang bernada SARA, apalagi di media sosial. Kampus harusnya menjadi tempatnya intelektual yang mencerahkan dan menyejukkan bagi masyarakat," ucapnya.
"Mengembangkan semangat ke-Bhinneka Tunggal Ika-an, mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa yang inklusif tidak diskriminatif, sesuai dengan semangat Pancasila," lanjutnya.
Lebih lanjut Nizam menyampaikan akan ada evaluasi kepada Budi karena yang bersangkutan merupakan reviewer LPDP. Menurutnya, pihak kampus perlu membuat tim etik atau dewan kehormatan untuk menindaklanjuti persoalan tersebut.
"Sebagai reviewer akan dilakukan evaluasi, kalau betul melanggar kode etik, tentu akan menerima sanksi dan tidak lagi diberi kepercayaan untuk me-review. Demikian pula sebagai akademisi. Semua tentu ada prosesnya. Karena yang bersangkutan adalah dosen, maka yang pertama harus dilakukan adalah perguruan tinggi yang bersangkutan membentuk tim etik/dewan kehormatan untuk memeriksa kasusnya," imbuhnya.
Tonton Video: Kontroversi Rektor ITK Sindir Manusia Gurun Pengucap 'Barakallah'
[Gambas:Video 20detik]
Rektor ITK Dilaporkan
Untuk diketahui, Rektor Institut Teknologi Kalimantan (ITK) Budi Santosa Purwokartiko dilaporkan ke Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Dirut LPDP Andin Hadiyanto. Budi dinilai telah melakukan ujaran yang bersifat SARA dan pelecehan secara verbal.
Pelapor itu adalah Irvan Noviandana. Dia mengirimkan surat terbuka ke Sri Mulyani dan Andin Hadiyanto. Dia meminta Budi ditindak karena status di Facebooknya dinilai meresahkan.
Irvan mengungkapkan kalimat Budi yang dimaksud mengandung ujaran SARA ketika Budi mewawancarai peserta program Dikti sebagaimana tulisan status Budi. Di status Facebooknya itu, Budi menyebut seseorang yang memakai hijab atau penutup kepala adalah manusia gurun.
"Budi Santosa sebagai pihak yang mewawancarai peserta Program Dikti sebagaimana yang disampaikan pada tulisannya mengatakan kalimat yang bernuansa sara bahwa 12 mahasiswi yang diwawancarai tidak ada satupun yang menutup kepala ala manusia gurun sehingga otaknya benar-benar open mind dan seterusnya," ucap Irvan.
"Kami sebagai umat Islam sangat tersinggung dengan perkataan yang disampaikan secara terbuka oleh Pewawancara LPDP karena merendahkan syariat agama kami, yang mewajibkan para wanita untuk menutup kepala (berhijab) sebagai bentuk kepatuhan dalam agama, selain itu juga kalimat tersebut sebagai bentuk pelecehan terhadap mahasiswi dan seluruh wanita di Indonesia yang menutup kepalanya," imbuhnya.
Rektor ITK Buka Suara
Rektor Institut Teknologi Kalimantan (ITK) Prof Budi Santosa Purwokartiko dianggap rasis karena menyinggung 'manusia gurun' di status media sosialnya saat menceritakan pengalaman sebagai pewawancara mahasiswi calon penerima beasiswa LPDP. Dia menegaskan tidak berniat merendahkan wanita yang berhijab.
"Itu adalah opini pribadi saya ya, tidak sebagai rektor. Maksud saya tidak ingin merendahkan orang yang pakai jilbab atau diskriminasi tidak ada maksud itu, saya hanya bercerita saja kebetulan kok ke-12-nya (mahasiswi) itu nggak pakai kerudung," jelas Prof Budi Santoso dilansir dari detikSulsel, Sabtu (30/4/2022).
Budi lantas menjelaskan awal mula celotehan yang membuat jagat maya heboh. Saat ia melakukan wawancara calon peserta student mobility. Menurut Budi, respons atas statusnya tersebut merupakan kesalahpahaman. Dia tak bermaksud menjelek-jelekkan wanita yang mengenakan kerudung atau jilbab.
"Mereka itu sangat salah paham. Saya menggunakan (kalimat) yang jadi masalah kan, mereka tidak ada yang pakai kerudung ala manusia gurun kan ya? Jadi maksud saya tidak seperti orang-orang yang pakai tutup-tutup, kaya orang Timur Tengah yang banyak, pasir, angin, panas gitu ya," kata Budi.
Selain itu, menurut Prof Budi Santoso, statusnya yang menjadi heboh adalah konsekuensi bahasa yang ia tuliskan. Tulisan itu dianggap Budi dijadikan alat beberapa oknum memvonis jika tulisannya itu menjatuhkan wanita yang mengenakan kerudung.
Selain itu, menurut Prof Budi Santoso, statusnya yang menjadi heboh adalah konsekuensi bahasa yang ia tuliskan. Tulisan itu dianggap Budi dijadikan alat beberapa oknum memvonis jika tulisannya itu menjatuhkan wanita yang mengenakan kerudung.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini