"Tindakan Sekjen MK tersebut disesalkan, dan sangat tidak etis. Karena perkara pengujian UU IKN dari banyak pihak sedang diadili dan akan diputus oleh para hakim konstitusi. Oleh karena itu, sangat wajar apabila banyak pihak menyoroti dan mempertanyakan keadilan, obyektifitas dan imparsialitas MK dalam memutus perkara judicial review itu nantinya," ujar Hidayat dalam keterangannya, Kamis (28/4/2022).
Ia menilai sikap imparsial (tidak memihak) sangat perlu dikedepankan sebagai prinsip umum kode etik para hakim konstitusi yang oleh UU MK dipersyaratkan mempunyai jiwa kenegarawanan.
"Walau yang menerima peserta itu adalah Sekjen MK, itu akan menjadi beban bagi para hakim konstitusi yang mengadili perkara judicial review tersebut nantinya karena belum apa-apa, sudah diberitakan bahwa MK menerima mereka," jelasnya.
Hidayat menilai langkah yang diambil Sekjen MK dapat menimbulkan kesan bahwa sekalipun judicial review masih berjalan dan belum diputuskan, tapi MK akan menolak judicial review yang sedang diajukan. Karena MK sudah merestui rencana gedung baru MK di IKN.
Sebagai lembaga negara yang membentuk MK, ia mengatakan MPR perlu mengingatkan agar MK mengedepankan sikap kenegarawanan sehingga bisa bersikap adil, netral dan tidak memihak dalam menangani perkara apapun. Apalagi jika menyangkut masa depan bangsa dan negara.
Dia memaparkan MK sebelumnya pernah memutuskan pembuatan UU Cipta Kerja yang divonis sebagai inkonstitusional bersyarat, sementara UU IKN pun mempunyai potensi masalah serupa. Ditambah isu terkait investor serta anggaran pembangunan IKN.
"Ketika amandemen UUD yang menghadirkan MK, MPR juga mempunyai TAP MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa termasuk etika dalam penegakan hukum yang masih berlaku. Dan karenanya harus menjadi pegangan bagi semua pejabat negara, apalagi MK adalah satu-satunya lembaga negara yang oleh UU dipersyaratkan kenegarawanan untuk para Hakimnya," terangnya.
Dia pun mengingatkan agar pejabat negara tidak melakukan tindakan atau perbuatan yang berpotensi menimbulkan kecurigaan memihak salah satu pihak atau memiliki konflik kepentingan.
"Ini harus yang dijaga oleh setiap pejabat Negara, termasuk Hakim MK. Jangan sampai publik memiliki kecurigaan seperti itu, dan ketidakpercayaan terhadap keputusan yang akan diputuskan oleh Hakim MK," ujarnya.
Lebih lanjut dia menjelaskan dalam perkara pengujian UU dikenal adanya prinsip 'presumption of constitutionality', yakni suatu UU yang sedang diuji di MK dianggap konstitusional sampai MK memutuskan sebaliknya.
"Memang dikenal prinsip semacam ini. Namun, ini berlaku untuk pihak lain. Sedangkan, bagi MK selaku lembaga hukum tertinggi yang menguji dan memutus harus berhati-hati bertindak terhadap UU yang sedang diuji untuk menunjukkan sikap kenegarawanan dan imparsialitasnya," tambahnya.
Meski demikian, ia yakin para hakim MK dapat memutus pengujian UU IKN ini secara objektif dan adil, dengan melihat prosedur maupun substansi yang bermasalah dari UU IKN maupun yang terkait dengan IKN.
"Karenanya tindakan sembrono dari Sekjen MK itu patut dikoreksi, termasuk oleh pimpinan MK sendiri. Agar para hakim konstitusi yang negarawan itu tetap bisa dipercaya oleh rakyat karena tidak terpengaruh oleh tindakan sekjennya sendiri, sehingga benar-benar dapat berlaku adil dan objektif memutus perkara UU IKN yang dipersoalkan oleh banyak pihak tersebut," pungkasnya. (prf/ega)