Ratusan orang mengajukan judicial review UU Ibu Kota Negara (IKN) ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar dibatalkan. Namun, di tengah proses sidang, MK menerima peserta sayembara pembuatan gedung MK di Nusantara. Sayembara itu dilakukan oleh Kementerian PUPR.
Sebagaimana disiarkan situs web MK, Rabu (27/4/2022), Sekretaris Jenderal (MK) M Guntur Hamzah menerima 39 peserta Sayembara Konsepsi Perancangan Kawasan dan Bangunan Gedung di Ibu Kota Negara (IKN) terkait Gedung Mahkamah Konstitusi yang akan ditempatkan di IKN. Pertemuan itu digelar pada Senin (25/4) kemarin.
"Terima kasih yang setinggi-tingginya kepada para peserta sayembara desain gedung MK yang berkenan hadir. Kami sangat mengapresiasi. Mudah-mudahan kehadiran Ibu dan Bapak di MK berkesan," kata Guntur kepada para peserta sayembara di aula gedung MK.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Guntur, hal yang penting untuk diketahui para peserta sayembara dengan berkunjung ke gedung MK adalah agar memahami 'feel' dan atmosfer MK serta menjadi bahan saat mengikuti sayembara desain gedung MK.
"Harapan saya, dengan memahami feel MK, tentu ada perbedaan dengan atmosfer yang ada di Mahkamah Agung maupun Komisi Yudisial yang telah Ibu dan Bapak kunjungi sebelumnya. Hal itulah yang akan menjadi values bagi Ibu dan Bapak semua ketika merancang gedung maupun kompleks MK untuk di ibu kota nusantara nantinya," ujar Guntur.
Guntur mengingatkan kepada para peserta sayembara desain MK, ketika merancang gedung MK dan hal-hal lainnya, tetaplah ada aturan mainnya.
"Di atas semua ketentuan itu, ada ketentuan yang tertinggi di negara kita. Itulah yang kita sebut konstitusi, yakni UUD 1945, sebagai ketentuan yang mengatur kehidupan bernegara dan berbangsa kita sehingga, sebagai warga negara, apalagi sebagai peserta sayembara, semestinya memahami konstitusi kita mengatur sistem ketatanegaraan, kekuasaan lembaga-lembaga negara yang sejatinya terbagi atas tiga lembaga kekuasaan, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif," urai Guntur.
Dikatakan Guntur, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi termasuk lembaga yudikatif, sementara Komisi Yudisial bukanlah merupakan lembaga peradilan, melainkan lembaga yang melakukan supporting kepada Mahkamah Agung dalam rangka merekrut calon-calon hakim agung dan menjaga integritas, kode etik hakim-hakim pada umumnya.
Lebih lanjut Guntur mengatakan, perbedaan antara Mahkamah Agung (MA) dan MK di banyak negara makin tipis. Bahkan, di beberapa negara, kedudukan MK lebih tinggi daripada MA.
"Seiring dengan berkembangnya demokrasi, banyak negara yang membutuhkan keberadaan Mahkamah Konstitusi dengan kewenangannya yang sangat strategis, menguji undang-undang terhadap UUD sebagai tugas utama Mahkamah Konstitusi," ujarnya.
UU IKN Belum Selesai Diadili MK
Sebagaimana diketahui, saat ini MK masih mengadili judicial review UU MK. Ratusan orang meminta agar UU IKN dibatalkan dengan berbagai alasan. Salah satu yang menggugat adalah sopir angkot di Cilincing, Jakarta Utara, Mulak Sihotang.
"Kami mohon sebagai warga negara agar yang terhormat Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) berkenan memberikan surat perintah kepada Kepala Negara dan DPR untuk bisa merevisi UU IKN," kata Mulak.
Mulak mengusulkan pemindahan ibu kota negara bukan ke Kalimantan, tetapi ke Lampung. Alasannya, pemindahan dari Jakarta ke Nusantara di Kalimantan terlalu jauh.
"Seharusnya pusat ibu kota negara tidak jauh-jauh banget dari pusat ibu kota negara yang lama, dari masyarakat lokal dan internasional, serta dari pusat pariwisata yang menarik kebanyakan terdapat di bagian barat Indonesia," papar Mulak.
Dalam berkas terpisah, ikut menggugat UU IKN ke MK juga yaitu pensiunan perusahaan minyak asing, Phiodias Marthias. Ia meminta MK menyatakan UU IKN tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
"Pemindahan IKN bertujuan pemerataan pembangunan nasional, bukanlah justifikasi yang mengakar pada kebenaran yang sesungguhnya. Kebenaran sesungguhnya karena tidak lahirnya program pembangunan yang best of the best akibat belum termanfaatkannya 5 sektor sumber daya kecerdasan bangsa, pendidikan, riset, profesionalisme, ketenagaahlian, dan perencanaan dalam satu paket kebijakan negara yang terpadu," kata Phiodias Marthias membeberkan alasan menolak UU IKN.
(asp/dnu)