Kita sering kagum menyaksikan orang-orang arif yang masih ada di sekitar kita. Mereka amat bijak di dalam menyikapi persoalan, baik pada dirinya sendiri maupun yang datang dari orang lain. Dalam segala keadaan sepertinya mereka tidak pernah resah. Meskipun bersahaja tetapi hidupnya tenang. Banyangan kegembiraan dan senyum manis selalu menghiasi wajahnya. Tutur katanya indah dan mencerahkan, tidak pernah mengusik ketengan orang lain. Ia selalu dirindukan kehadirannya. Ia dikenang jika tidak ada ia mencerahkan ketika ia hadir. Sepertinya berat hati kita berpisah dengannya dan seolah hidup kita mendapatkan vibrasi positif (berkah) setiap kali kita berjumpa dengannya.
Para arifin yang sering kita kagumi ternyata tidak gratis, atau tiba-tiba menjadi seperti apa adanya seperti yang kita saksikan. Ternyata mereka juga berjuang cukup panjang untuk mendapatkan wibawa spiritual kharismatik itu. Langkah-langkah yang mereka lakukan antara lain menaati seluruh ketentuan ajaran agama. Mereka secara konsisten menaati ajaran dan seruan agama. Bukan hanya yang wajib tetapi juga yang sunnat. Mereka juga mendisiplinkan diri bukan hanya menjauhi yang haram tetapi juga yang makruh. Bagi para arifin sudah tidak ada lagi bedanya antara sunnat dan wajib, karena kedua-duanya mendekatkan diri dengan Tuhan. Tidak ada juga bedanya antara makruh dan haram karena keduanya menjauhkan diri dengan Tuhan.
Para arifin mendandani hidupnya dengan puasa sunat Senin-Kamis, shalat-shalat rawatib, shalat-shalat lail, dan shalat dhuha. Ia menyempurnakan shalatnya degan tafakkur sebelum atau sesudah shalat, melakukan meditasi (tadzakkur) secata teratur, menyediakan waktu pengabdian terhadap orang-orang yang membutuhkan dirinya, tegasnya hablun inallah dan hablun minan nas-nya bagus. Jika kita kagum terhadap orang arif dan diri kita kepingin seperti mereka maka kita harus memulain meniru jalan hidup spiritual mereka. Sesungguhnya sepintas kita lihat berat dan sepertinya sulit kita amalkan tetapi jika kita berani memulai dan mencobanya ternyata Allah swt memberikan kemudahan dan kemampuan untuk menjalaninya.
Fenomena psikologis yang lahior sebagai akibat menempuh perjalanan spiritual (suluk) antara lain munculnya rasa optimisme di dalam menatap masa depan, hidup lebih mudah bersikap fragmatis (tetapi bukan fragmatisme) di dalam menjalani kehidupan, filosopi hidup lebih positif, hidup terasa mengalir seperti air, lebih realistis, lebih pasrah menerima kenyataan, beban hidup lebih gampang terurai, hambatan egoisme mudah mencair, kesediaan untuk berbagi kepada orang lain lebih mudah, lebih mudah menerima perbedaan, lebih gampang memaafkan dan meminta maaf. Hidup yang praktis seperti ini, walaupun kita tidak lagi menyadarinya, namun diam-diam ternyata orang lain mengagiminya, khususnya angora keluarga atau orang-orang yang lebih dekat dengan kita seperti anggota keluarga, pembantu, supir, dan tukang kebun.
Bagi para arifin terlihat sangat menghargai waktu. Ia tidak pernah meninggalkan wirid saat ia menganggur, misalnya dalam keadaan macet di jalanan, mendengarkan ceramah, menikmati kesendirian, selalu saja tasbih melingkar di jari jemarinya. Lebih jauh dari itu, ketika ia melihat atau menyaksikan sesuatu ia tidak hanya menggunakan mata lahiriah (al-bashir) tetapi juga menggunakan mata batin (bashirah) sehingga apa yang dilihat dan disaksikannya adalah alam yang merupakan alamat Tuhan. Apapun yang dilihat seperti ia menyaksikan Tuhannya, sama dengan firman Allah: "Kemanapun engkau memalingkan wajahmu di situ kalian akan menyaksikan wajah Tuhanmu".
Prof. Nasaruddin Umar
Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. (Terimakasih - Redaksi)
(lus/lus)