DPR-Pemerintah Sepakat Hilangkan Frasa Norma Agama dan Budaya di RUU TPKS

Nahda Rizki Utami - detikNews
Senin, 28 Mar 2022 20:32 WIB
DPR dan Pemerintah rapat bahas RUU TPKS. (Dok.YouTube DPR)
Jakarta -

Badan Legislasi (Baleg) DPR RI bersama pemerintah sepakat untuk menghapus frasa norma agama dan norma budaya dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Penghapusan frasa norma agama dan budaya itu dilakukan demi menghindari kontroversi.

Terdapat perubahan yang disepakati oleh Baleg DPR dan Pemerintah. Salah satunya berkaitan dengan frasa norma agama dan norma budaya yang ada di DIM nomor 3 RUU TPKS.

DIM nomor 3 RUU TPKS awalnya berbunyi:

"Kekerasan seksual bertentangan dengan norma agama, norma budaya, merendahkan harkat, martabat dan merusak keseimbangan hidup manusia serta mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat," bunyi DIM nomor 3 RUU TPKS.

Baleg DPR RI bersama pemerintah lalu menyepakati untuk mengganti frasa norma agama dan budaya itu sehingga berubah menjadi sebagai berikut:

"Bahwa kekerasan seksual bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan dan mengganggu keamanan serta ketenteraman masyarakat," jelas isi perubahan DIM nomor 3 RUU TPKS.

Sementara itu, Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Prof Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej menjelaskan kata norma budaya dan agama memang sengaja untuk dihilangkan. Eddy Hiariej mengatakan menghindari kontroversi pada saat berbicara soal kekerasan seksual.

"Kata-kata norma budaya, norma agama ini kita sengaja untuk menghilangkan. Kami dalam pembahasan selalu menyatakan bahwa ketika berbicara mengenai kekerasan seksual itu sangat multi-etnis, multi-religi, sehingga kita menghindari kontroversi, lalu kata-kata norma agama, norma budaya itu kita hilangkan," kata Eddy Hiariej saat rapat panja pembahasan DIM RUU TPKS dengan Baleg DPR RI di Kompleks Parlemen, Senin (28/3/2022).

"Satu contoh konkret misalnya, mohon maaf, misalnya dalam konteks budaya sawer. Budaya sawer mungkin untuk suatu budaya setempat mungkin tidak menjadi soal, tetapi mungkin orang lain di luar budaya itu melihat sebagai suatu sexual harassment," sambungnya.

Untuk mencegah kontroversi, kata Eddy Hiariej, kata-kata norma agama dan budaya itu dihilangkan dan digunakan istilah yang lebih universal. Eddy Hiariej mengatakan kekerasan seksual bertentangan dengan nilai kemanusiaan dan dapat mengganggu keamanan serta ketentraman masyarakat.

"Untuk mencegah kontroversi itu sehingga kata-kata norma agama, norma budaya itu kami hilangkan jadi menggunakan istilah yang lebih universal, bahwa kekerasan seksual bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, dan mengganggu keamanan dan ketenteraman masyarakat," ujar Eddy Hiariej.

Lebih lanjut, penghapusan frasa seperti usulan pemerintah itu lantas dipertanyakan oleh Wakil Ketua Baleg DPR RI Willy Aditya kepada forum. Seluruh forum pun menyepakati penggantian frasa dengan kata Ketuhanan.

"Jadi tetap pakai kata ketuhanan. Setuju, ya?" tanya Willy Aditya kepada peserta rapat.

"Setuju," jawab peserta rapat yang diikuti ketukan palu sidang oleh Willy.

Diwawancarai terpisah, anggota Baleg DPR RI Luluk Nur Hamidah menjelaskan DPR RI bersama pemerintah sepakat untuk memasukkan nilai-nilai ketuhanan dalam RUU TPKS alih-alih dengan istilah norma agama.

"Gini, menghapus norma agama kami sepakat untuk memasukkan soal ketuhanan ya. Jadi karena memang kekerasan seksual pada dasarnya bukan berlawanan kepada semua nilai-nilai ketuhanan apapun ketuhanan itu mencerminkan sebenarnya yang juga dianut di Indonesia," kata Luluk.

"Tapi kalau untuk norma agama secara aplikatif akan susah keukur dalam proses perundang-undangan, tapi kalau ketuhanan jalan tengahnya lah. Mungkin tidak dihapus dalam artian tidak dianggap perlu, tapi memang akan kesulitan untuk diukur karena memang norma agama ini nanti apa ukurannya," sambungnya.




(maa/maa)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork