Dasar hukum Mahkamah Konstitusi tertuang dalam amandemen Undang Undang Dasar 1945. Pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) dirumuskan dalam amandemen ketiga yang disahkan pada 9 November 2001.
Dilansir situs resmi MK, gagasan mengenai MK di batang tubuh UUD 1945 diadopsi oleh Majelis Permusyawaratan Perwakilan (MPR). Kala itu kebutuhan akan adanya mekanisme judicial review kian terasa hingga pasca reformasi, UUD 1945 mengalami perubahan hingga empat tahap.
Lalu apa dasar hukum Mahkamah Konstitusi? Apa tugas dan wewenangnya? Penjelasannya dalam disimak berikut ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Hukum: Pengertian, Norma hingga Contohnya |
Dasar Hukum Mahkamah Konstitusi: Sejarah Pembentukan
Dalam amandemen ketiga UUD 1945, ketentuan tentang Mahkamah Konstitusi dirumuskan. Ketentuan itu dirumuskan dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C dan Pasal 7B.
Untuk menindaklanjuti amanat konstitusi itu, pemerintah bersama DPR membahas Rancangan Undang-undang tentang Mahkamah Agung hingga disepakati dan disahkan dalam Sidang Paripurna DPR pada 13 Agustus 2003. UU tentang MK ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri di hari yang sama dan diberi nomor UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316).
Tanggal 13 Agustus 2003 itu juga disepakati para hakim konstitusi sebagai hari lahir MK Republik indonesia.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 24C ayat (3) UUD 1945, tiga lembaga negara yakni DPR, Presiden dan MA mengajukan hakim konstitusi masing-masing 3 orang yaitu:
- DPR mengajukan: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., I Dewa Gede Palguna., dan Letjen TNI (Purn) Achmad Roestandi, S.H.
- Presiden mengajukan Prof. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S., Prof. H.A.S. Natabaya, S.H., LLM., dan Dr. H. Harjono, S.H., MCL., S.H., M.H.
- MA mengajukan Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H., Maruarar Siahaan, S.H., dan Sudarsono, S.H.
Kesembilan hakim konstitusi pertama itu menjabat untuk periode 2003-2008 di mana Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. terpilih sebagai ketua dan Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H. sebagai wakil ketua.
Kegiatan Mahkamah Konstitusi ini mulai dilaksanakan pada 15 Oktober 2003. Dengan demikian berakhir juga kewenangan MA dalam melaksanakan kewenangan MK yang bersifat sementara sebagaimana diamanatkan oleh Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945.
Diketahui UU Nomor 24 Tahun 2003 mengalami tiga kali revisi hingga saat ini. Terbaru adalah UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, yang disahkan pada tanggal 1 September 2020.
Dasar Hukum Mahkamah Konstitusi terkait Keanggotaan
Dilansir situs resmi Pemkab Banyuwangi, dasar hukum Mahkamah Konstitusi terdiri dari beberapa pasal dalam UUD 1945. Dalam Pasal 24C ayat 3 hingga 6 UUD 1945 berikut ketentuan soal keanggotaan di Mahkamah Konstitusi:
(3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota Hakim Konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh DPR, dan tiga orang oleh Presiden.
(4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh Hakim Konstitusi.
(5) Hakim Konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.
(6) Pengangkatan dan pemberhentian Hakim Konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang.
Dasar Hukum Mahkamah Konstitusi Terkait Wewenang
Adapun wewenang Mahkamah Konstitusi antara lain dijelaskan dalam Pasal 24C ayat 1 yaitu:
- Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945;
- Memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945;
- Memutuskan pembubaran partai politik; dan
- Memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Dasar Hukum Mahkamah Konstitusi Terkait Kewajibannya
Dalam Pasal 24C ayat 2 UUD 1945, adapun kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden menurut UUD 1945. Pelanggaran dimaksud sebagaimana disebutkan dan diatur dalam ketentuan Pasal 7A UUD 1945, yaitu melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.