Mantan penyidik KPK Mochamad Praswad Nugraha mengkritik habis Firli Bahuri dan kawan-kawan (dkk) terkait Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi (Perkom) Nomor 1 Tahun 2022 yang mengatur tentang kepegawaian. Tak cuma mengkritik, Praswad turut menyindir para pimpinan KPK.
"Saya usul, sebaiknya sekalian saja dibuat peraturan komisi terkait pelarangan 57 pegawai untuk kembali ke KPK dengan cara apapun untuk selama-selamanya, agar maksud dan tujuan penyusunan perkom dapat lebih mudah dicerna oleh masyarakat luas, lebih jelas dan konkret," kata Praswad kepada wartawan, Kamis (11/2/2022) malam.
Praswad menganggap Perkom 1/2022 sama dengan Perkom 1/2021. Dia menyebut kedua perkom itu adalah alat yang digunakan pimpinan KPK untuk menyingkirkan 57 pegawai KPK (57 pegawai tak lulus TWK).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pembuatan klausul khusus dalam Perkom 1/2022 sebetulnya adalah metode yang sama dengan upaya Firli Bahuri pada saat menyusun Perkom 1/2021, yang menjadi landasan diadakannya TWK (selanjutnya menjadi alat penyingkiran 57 orang pegawai dengan cara sewenang-wenang dan melanggar HAM)," ujarnya.
Praswad melihat Perkom 1/2022 justru menunjukkan rasa ketakutan Firli Bahuri dkk terhadap integritas dan hasil kerja 57 pegawai yang tak lulus TWK. Selain itu, Praswad menganggap Perkom 1/2021 bagian dari rentetan pelanggaran HAM yang dilakukan pimpinan KPK.
"Hal tersebut (pembuatan Perkom 1/2022) menunjukkan ketakutan yang luar biasa terhadap integritas dan hasil kerja pegawai-pegawai yang diberhentikan melalui proses TWK," sebutnya.
"Selain itu, pembuatan perkom ini menambah panjang rentetan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pimpinan KPK, dengan proses yang disebut oleh Komnas HAM dalam temuannya sebagai labelisasi sebagaimana kerap digunakan pada masa Orde Baru," imbuh Praswad.
Praswad pun menyebut ada kesan pasal susupan di Perkom 1/2022, yakni Pasal 11 huruf b. Dalam Perkom 1/2022, Pasal 11 merupakan turunan dari Pasal 3 ayat (2).
Disebutkan dalam Pasal 3 ayat (2) Perkom 1/2022, bahwa KPK dapat meminta atau menerima pegawai dari PNS dan anggota Polri sesuai dengan aturan perundangan-undangan.
Namun, KPK tidak dapat langsung menerima. Penerimaan PNS atau anggota Polri menjadi pegawai KPK harus melalui seleksi bersyarat.
Syarat seleksi penerimaan PNS dan anggota Polri diatur dalam Pasal 11 Perkom 1/2022. Karena itulah Pasal 11 disebut pasal turunan dari Pasal 3 ayat (2) Perkom 1/2022. Berikut bunyinya:
Pasal 11
Dalam upaya memenuhi kualifikasi persyaratan Jabatan, PNS dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) wajib mengikuti seleksi dengan syarat:
a. tidak sedang dalam proses pemeriksaan dan tidak sedang menjalani hukuman disiplin dan/atau etik dalam jangka waktu 1 (satu) tahun terakhir,
b. tidak pernah diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau tidak dengan hormat sebagai PNS, prajurit Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pegawai Komisi atau diberhentikan tidak dengan hormat sebagai pegawai swasta,
c. mendapat ijin dari pimpinan instansi induk, dan
d. dinyatakan lulus seleksi.
Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.
Selain tak diperlukan, sebut Praswad, penerimaan pegawai KPK dari PNS atau anggota Polri sama saja dengan mutasi pegawai negeri.
"Kalau ini kan seolah-olah dia menyusupkan pasal yang betul-betul nggak masuk diakal. Namanya mutasi pegawai negeri, itu statusnya pegawai negeri kan. Jadi, kalau statusnya pegawai negeri, itu ngapain lagi ditanya bahwa dia sudah dipecat sebagai pegawai negeri. Lah kan dia pegawai negeri," sebutnya.
Praswad pun meyakini syarat sebagaimana diatur di Pasal 11 huruf b dibuat untuk menutup pintu 57 eks pegawai yang tak lulus TWK kembali ke KPK.
"Kok dia bisa memprediksi ada pegawai negeri yang sudah dimutasi. Kenapa nggak sekalian sebut aja namanya, sekalian aja menurut saya, nggak usah pake tedeng aling-aling," kata Praswad.
"Kok dia bisa memprediksi ada pegawai negeri di lembaga itu yang sudah pernah dipecat, kan satu-satunya kami doang," imbuhnya.
Praswad sendiri mengaku tak berniat kembali ke KPK. Namun, sebut dia, persoalan bukan soal kembali atau tidak kembali ke KPK. Praswad menyebut hanya 57 pegawai KPK yang tak lulus TWK yang tidak memenuhi syarat yang diatur di Perkom 1/2022.
"Kalau aku sebenarnya nggak ada minat balik lagi. Masalahnya ini bukan soal balik nggak balik," ucapnya.
"Itu anomalinya dengan teman-teman yang direkrut Kapolri. Yang tidak memenuhi syarat sebagaimana di Perkom 1/2022 itu hanya kami se-Indonesia. Dia udah bocorin, dia sudah spesifik," pungkas Praswad.
Simak tanggapan mantan penyidik KPK lainnya di halaman berikutnya.
Perkom 1/2022 Bukti Upaya Singkirkan Novel dkk Terencana
Mantan penyidik KPK lainnya, Lakso Anindito, turut menyoroti Perkom 1/2022. Lakso menganggap Perkom 1/2022 sebagai bukti bahwa upaya menyingkirkan 58 pegawai KPK yang tak lulus TWK, termasuk Novel Baswedan, sistematis dan terencana.
"Perkom tersebut menunjukkan bahwa upaya untuk menyingkirkan 58 pegawai benar-benar dilakukan secara sistematis dan terencana sesuai temuan Komnas HAM. Karena bahkan, sampai diberhentikan pun tetap ada tindakan agar pegawai tersebut tidak kembali ke KPK," ucap Lakso kepada wartawan, Kamis (10/2) malam.
"Artinya, ini bukan hanya soal lulus atau tidak lulus TWK, tetapi memang ada orang-orang yang disasar agar tidak bekerja di KPK," imbuhnya.
Lakso pun heran dengan sikap pimpinan KPK. Dia mempertanyakan, ada kepentingan apa sampai-sampai Novel Baswedan dkk tak boleh lagi bekerja di KPK.
"Pertanyaannya adalah kepentingan apa yang membuat orang-orang ini menjadi sama sekali tidak boleh bekerja dalam institusi anti korupsi tersebut?" kata Lakso.
Lebih lanjut mantan penyidik muda KPK itu meyakini ada upaya luar biasa yang dilakukan untuk menghalangi Novel Baswedan dkk kembali ke KPK. Lakso juga melihat ada semacam ketakutan dari Firli Bahuri cs.
"Sebenarnya, pertanyaan utamanya bukan mau kembali atau tidak kembali KPK, bagi saya ya. Intinya, kalau dari saya, Perkom ini sebetulnya menunjukkan bahwa apa yang ditemukan oleh Komnas HAM itu merupakan hal yang terbukti valid dan benar," tuturnya.
"Kenapa? Karena dulu Komnas HAM juga kan melihat ada upaya untuk bisa menyasar orang-orang tertentu yang sudah sejak awal. Terus labeling terhadap orang-orang tertentu itu dilakukan, dan saat dalam proses di TWK terjadi itu, dijadikan alat untuk menyingkirkan," sambung Lakso.