KPK digugat praperadilan tersangka perkara dugaan korupsi pengadaan helikopter AW-101. KPK diminta menghentikan penyidikan perkara serta mencabut pemblokiran aset milik tersangka.
Dilihat pada Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), permohonan praperadilan itu diajukan pada 2 Februari 2022 dengan nomor perkara 10/Pid.Pra/2022/PN JKT.SEL. Pemohon praperadilan itu tertulis nama Jhon Irfan Kenway dengan termohon KPK dan Pimpinan KPK.
Dari catatan detikcom, tersangka perkara ini yang dijerat KPK adalah Irfan Kurnia Saleh selaku Direktur PT Diratama Jaya Mandiri atau PT DJM. Irfan Kurnia Saleh dijerat KPK pada Juni 2017.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tidak disebutkan jelas apakah Jhon Irfan Kenway yang mengajukan permohonan praperadilan itu adalah nama lain dari Irfan Kurnia Saleh yang menjadi tersangka KPK. Namun Jhon Irfan Kenway dalam permohonan praperadilannya memposisikan diri sebagai tersangka KPK yang meminta agar hakim tunggal praperadilan mencabut status tersangkanya.
Berikut permohonan praperadilan yang diajukan Jhon Irfan Kenway:
Dalam Provisi:
1. Menyatakan sah pemblokiran aset pemohon yang dilakukan oleh termohon;
2. Memerintahkan termohon untuk mencabut surat permintaan blokir nomor R-1032/23/11/2017 dan surat nomor R-1032/23/11/2017 tertanggal 13 November 2017 dan/atau surat pemblokiran lainnya terhadap seluruh aset pemohon dan aset ibu kandung pemohon;
3. Menyatakan tidak sah pemblokiran uang negara sebesar Rp 139,43 miliar pada rekening ascroo acount PT Diratama Jaya Mandiri;
4. Memerintahkan termohon untuk mencabut pemblokiran uang negara sebesar Rp 139,43 miliar pada rekening ascroo acount PT Diratama Jaya Mandiri untuk dan tetap dikuasai oleh pemegang kas TNI Angkatan Udara.
Dalam Pokok Perkara
1. Menyatakan menerima dan mengabulkan permohonan praperadilan pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan, tetap mempertahankan pemohon sebagai tersangka adalah tidak sah, karena lama status pemohon sebagai tersangka sudah lampaui 2 (dua) tahun dan tersangka penyelenggara negara (peserta lain) sudah dihentikan penyidikannya;
3. Menyatakan Surat Perintah Penyidikan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.DIK- 44/01/06/2017 tanggal 16 Juni 2017 yang menetapkan pemohon sebagai Tersangka oleh termohon melanggar Pasal 40 ayat (1) juncto Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terkait peristiwa pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum, dan oleh karenanya Penetapan aquo tidak mempunyai kekuatan mengikat;
4. Menyatakan Penyidikan yang dilaksanakan oleh termohon terkait peristiwa pidana sebagaimana dimaksud dalam Penetapan Tersangka terhadap diri pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum, dan oleh karenanya Penyidikan aquo tidak mempunyai kekuatan mengikat;
5. Memerintahkan termohon untuk segera menghentikan penyidikan dan penuntutan atas diri pemohon dalam waktu paling lama 7 hari sejak putusan ini dan termohon harus melaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat 1 (satu) minggu terhitung sejak Putusan ini serta harus diumumkan oleh termohon kepada publik;
6. Menyatakan Pemblokiran aset pemohon dan juga aset ibu kandung pemohon berdasarkan surat permintaan blokir Nomor : R-1031/23/11/2017 tertanggal 13 November 2017 dan surat Nomor : R-1032/23/11/2017 tertanggal 20 November 2017 dan/atau surat Pemblokiran lainnya terhadap seluruh aset pemohon dan aset ibu kandung pemohon tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum, serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
7. Menyatakan pemblokiran serta pemblokiran uang negara sebesar Rp 139,42 miliar pada rekening ascroo acount PT. Diratama Jaya Mandiri tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum, dan oleh karenanya Pemblokiran a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
8. Memerintahkan termohon untuk mencabut pemblokiran atas seluruh aset-aset pemohon dan juga aset orang tua kandung pemohon
9. Memerintahkan termohon untuk mencabut pemblokiran uang negara sebesar Rp 139,42 miliar yang disimpan pada rekening Escrow Account menggunakan Rekening Perusahaan pemohon (a.n PT. Diratama Jaya Mandiri) berdasarkan Peraturan Panglima TNI Nomor 23 tahun 2012 sehubungan dengan Pengadaan Helikopter Angkut AW-101 di TNI Angkatan Udara Tahun 2016-2017 dan menjadi Uang Negara yang dikuasai oleh Pemegang kas TNI Angkatan Udara, dalam waktu paling lama 7 hari sejak putusan ini dan termohon harus melaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat 1 (satu) minggu terhitung sejak Putusan ini;
10. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh termohon yang berkenaan dengan Penetapan Tersangka atas diri pemohon oleh termohon;
11. Memerintahkan kepada termohon untuk melakukan rehabilitasi dan mengembalikan kedudukan hukum pemohon sesuai dengan harkat dan martabat dari pemohon;
12. Menghukum TERMOHON Praperadilan untuk membayar biaya perkara menurut hukum atau apabila hakim berpendapat lain mohon putusan Putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono ).
Simak juga 'KPK Tahan Tersangka Kasus Korupsi e-KTP Isnu Edhy-Husni Fahmi':
Mengenai permohonan praperadilan itu, Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri belum berbicara banyak. Dia mengaku baru akan mengeceknya.
"Lagi aku cek. Biro Hukum belum terima panggilan (praperadilan) soalnya," ucap Ali ketika dimintai konfirmasi, Selasa (8/2/2022).
Duduk Perkara
Perkara ini sejatinya beririsan antara KPK dengan TNI AU. Kasus bermula saat TNI AU menyatakan helikopter Super Puma untuk VVIP akan diganti dengan jenis dan merek terbaru karena sudah usang. Peremajaan helikopter kepresidenan itu sudah diusulkan sejak lama dan pengadaannya masuk dalam rencana strategis (renstra) II TNI AU tahun 2015-2019. Alasannya, heli yang akan digantikan sudah berusia 25 tahun sehingga perlu peremajaan.
Pada 6 Juni 2018, KPK memeriksa mantan KSAU Marsekal (Purn) Agus Supriatna. Agus menyebut persoalan ini tidak akan muncul apabila pihak 'pembuat masalah' paham betul akan aturan yang ada.
"Sebetulnya dari awal dulu saya tidak pernah mau bikin gaduh, (tidak) mau bikin ribut permasalahan ini. Karena AW-101 ini harusnya teman-teman juga tahu. Coba tanya kepada yang membuat masalah ini, dia tahu nggak UU APBN? Tahu nggak mekanisme anggaran APBN itu seperti apa? Kalau tahu, tidak mungkin melakukan hal ini," kata Agus kala itu.
Namun pengusutan itu terkatung-katung. Di sisi KPK menjerat pihak swasta atas nama Irfan Kurnia Saleh. Sisi lainnya dari TNI AU diusut Puspom TNI.
Total ada 5 tersangka yang dijerat yaitu sebagai berikut:
1. Marsma TNI FA, yang bertugas sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK)
2. Kolonel Kal FTS selaku Kepala Unit Pelayanan dan Pengadaan
3. Letkol WW, sebagai pejabat pemegang kas
4. Pelda S, yang diduga menyalurkan dana-dana terkait dengan pengadaan kepada pihak-pihak tertentu
5. Marsda SB sebagai asrena KSAU.
Namun kabar terakhir menyebutkan bila perkara di Puspom TNI itu dihentikan sehingga status tersangka kepada 5 prajurit itu pun gugur. KPK sendiri terakhir belum mengetahui pertimbangan penghentian kasus itu di TNI.
"Ketika di sana dihentikan, tentu cantolannya menjadi tidak ada kita. Ini kan penyelenggara negara, tapi nanti pasti akan kami kaji, kalau kami masih meyakini bahwa dari transaksi itu terjadi kerugian negara, kita bisa berkoordinasi dengan aparat penegak hukum lain, kejaksaan atau kepolisian untuk menangani," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata pada Rabu, 29 Januari 2021.
Hal ini menjadi permasalahan karena KPK wajib mengusut perkara korupsi yang melibatkan penyelenggara negara. Sedangkan untuk perkara ini penyelenggara negara yang sejatinya ada di TNI AU telah dihentikan penyidikannya.
KPK sendiri mengusut pihak swasta saja. Alexander pun menyebutkan akan melakukan koordinasi dengan pihak TNI terkait kasus ini.
"Kita belum koordinasi dengan TNI terkait dengan penghentian proses penyidikan di sana. Ya kita belum sempat bertemu. Ya nanti kita akan koordinasikan dari deputi penindakan kan," ungkap Alex.