Ridwan Saidi Sangat Setuju Ibu Kota Baru Dinamakan Nusantara

Perspektif

Ridwan Saidi Sangat Setuju Ibu Kota Baru Dinamakan Nusantara

Danu Damarjati - detikNews
Rabu, 19 Jan 2022 17:45 WIB
Padepokan Dakwah Sunan Kalijaga (Padasuka) menggelar seminar dengan tema Urgensi Issu Kebangkitan PKI Pasca Reformasi di Ponpes Ummulqura, Pondok Cabe, Tangerang Selatan, Sabtu (25/7/2020).
Ridwan Saidi (Grandyos Zafna/detikcom)
Jakarta -

Budayawan Betawi Ridwan Saidi setuju dengan nama pilihan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk ibu kota negara di Kalimantan Timur, yakni Nusantara. Soalnya, nama itu sudah sesuai dengan sejarah yang 'sebenarnya' dan mengoreksi pemahaman populer soal Nusantara.

"Saya setuju ibu kota baru namanya Nusantara," kata Ridwan Saidi kepada Perspektif detikcom, Rabu (19/1/2022).

Ridwan adalah budayawan sekaligus anggota DPR era 1970-an sampai 1980-an. Ridwan juga sering berbicara masalah sejarah. Yang paling heboh belakangan ini, dia pernah bicara bahwa Sriwijaya adalah fiktif.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kembali ke soal Nusantara, Ridwan setuju bila nama itu digunakan sebagai nama ibu kota negara di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Penamaan itu, menurutnya, bisa meluruskan kesalahpahaman umum yang mengasosiasikan Nusantara sebagai nama lain dari wilayah dari Sabang sampai Merauke atau nama lain dari Indonesia. Padahal Nusantara adalah nama salah satu wilayah.

"Selama ini Nusantara diidentikkan seolah-olah Indonesia, padahal Nusantara itu nama yang ada di serat Pararaton," kata Ridwan.

ADVERTISEMENT

Kitab Pararaton terdiri atas banyak naskah, yang tertua teridentifikasi berasal dari 1481 Masehi, ada pula yang ditulis pada abad ke-17. Dalam Pararaton, termaktub Sumpah Palapa (tahun 1336 Masehi) dari Mahapatih Gajah Mada yang terkenal itu, yakni Gajah Mada bersumpah untuk tetap berpuasa sampai dia bisa mengalahkan Nusantara.

"Nusantara di situ adalah salah satu kerajaan yang mau ditaklukkan Gajah Mada. Kita nggak tahu lokasinya di mana," kata Ridwan.

Begini bunyi Sumpah Palapa sebagaimana dikutip dari situs Kemendikbud RI:

Lamun huwus kalah Nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, Samana isun amukti palapa.

Artinya:
Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Pahang (sekarang Malaysia -red), Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik (sekarang Singapura -red), demikian saya (baru akan) melepaskan puasa.

Di halaman selanjutnya, Ridwan Saidi setuju dengan pilihan Jokowi itu:

Simak Video 'UU IKN Disahkan-Ibu Kota Baru Bernama Nusantara':

[Gambas:Video 20detik]



Dan kini, nama Nusantara disematkan untuk ibu kota negara di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Undang-Undang Ibu Kota Negara sudah disahkan DPR.

"Jadi itu sudah benar langkah Pak Jokowi menjadikan itu nama kota. Saya Setuju. Bukan sekadar setuju, saya setuju berat. Saya dukung pendapat Jokowi. Akur," kata Ridwan.

Pria kelahiran 2 Juli 1942 ini mengartikan kata 'nusantara' bermakna 'sekitar jarak'. Kata 'nusa' berasal dari Melayu lama yang maknanya berarti 'sekitar' atau 'around' dalam bahasa Inggris. Dia tidak setuju dengan pendapat yang mengatakan kata 'nusa' berasal dari Yunani 'nesos', yang artinya 'pulau'. Kata 'antara' bermakna 'jarak'.

Misalnya, dia mencontohkan, 'Nusakambangan' bermakna 'pulau-pulau sekitar Kambangan'. 'Nusa Penida' bermakna 'pulau-pulau di sekitar Penida'. Dia menyebut Penida adalah pulau utama yang terbesar di antara pulau-pulau di sekitarnya. Tentu saja, ini adalah tafsiran Ridwan Saidi. Karena istilah Nusantara berasal dari Melayu lama, maka dia tidak setuju dengan kritik yang mengatakan bahwa nama itu beraroma Jawa-sentrisme.

"Jadi nggak benar kalau ini dikatakan kejawa-jawaan, nggak benar itu. Istilah 'nusantara' ini adalah dari bahasa Melayu lama," kata Ridwan.

Sebelumnya, sejarawan pendiri Komunitas Bambu, JJ Rizal, berpandangan bahwa nama Nusantara ini punya kecenderungan Jawa-sentris. Dia menilai penyebutan Nusantara sudah ditinggalkan sejak era pergerakan kemerdekaan lantaran terlalu dominan budaya Jawa.

"Sebab itu, sejak zaman pergerakan, istilah 'nusantara' tersingkir karena dianggap Jawa-sentris," kata Rizal, Selasa (18/1) kemarin.

Istilah 'nusantara' adalah produk cara pandang Jawa era Majapahit. "Istilah 'nusantara' mencerminkan bias Jawa yang dominan," kata JJ Rizal.

Halaman 2 dari 2
(dnu/tor)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads