Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti mengatakan ulama harus ikut menentukan arah perjalanan bangsa. Hal itu disampaikan LaNyalla dalam Kuliah Umum di Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Hidayatullah, Komplek Pondok Pesantren Hidayatullah, Balikpapan.
"Para ulama dan tokoh agama adalah representasi dari negarawan dan seorang negarawan tidak berpikir next election, tetapi berpikir next generation," ujarnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (15/1/2022).
Keikutsertaan ulama dan tokoh agama tersebut lantaran LaNyalla prihatin terhadap kondisi sistem tata negara pasca amandemen Konstitusi 1999-2002 silam. Sejak saat itu, kedaulatan rakyat sudah tidak memiliki wadah yang utuh.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dulu sebelum dilakukan amandemen, kedaulatan rakyat ada di Lembaga Tertinggi Negara, yaitu MPR RI yang terdiri dari partai politik melalui anggota DPR, Utusan Daerah yang merupakan wakil-wakil daerah dari Sabang sampai Merauke dan unsur Utusan Golongan yang adalah wakil dari beragam golongan di masyarakat, termasuk dari ulama dan tokoh agama," paparnya.
Lebih lanjut, LaNyalla menerangkan sejak amandemen 20 tahun yang lalu Utusan Daerah dan Utusan Golongan dihapus. Presiden sampai kepala daerah juga dipilih langsung. Utusan Daerah dan Utusan Golongan diganti dengan Dewan Perwakilan Daerah.
"Tetapi DPD RI tidak memiliki kewenangan yang sama dengan Utusan Daerah dan Utusan Golongan. Sejak amandemen itu, partai politik menjadi satu-satunya penentu wajah dan arah perjalanan bangsa ini. Karena hanya partai politik yang bisa mengajukan dan menentukan calon presiden yang seharusnya dipilih oleh rakyat," ungkapnya.
Oleh karenanya, LaNyalla mengajak publik bersama memikirkan masa depan Indonesia agar lebih baik dan lebih cepat untuk mewujudkan cita-cita para pendiri bangsa yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
"Kita harus berani melakukan koreksi. Dimana penentu wajah dan arah perjalanan bangsa ini tidak boleh kita serahkan tunggal kepada partai politik. Sebab, negara ini ada karena adanya rakyat. Dan tidak semua rakyat adalah anggota partai politik," tegasnya.
Pada acara bertema 'Sumbangsih Pondok Pesantren Dalam Lahirnya NKRI', LaNyalla menyebut pondok pesantren adalah prototipe dari masyarakat madani atau komunitas civil society di masa pra kemerdekaan.
Dalam masa itu, pondok pesantren tidak hidup dari dana atau santunan yang diberikan penjajah. Tetapi hidup mandiri dari cocok tanam dengan semangat gotong royong santri dan masyarakat sekitar.
"Pondok pesantren juga sekaligus menjadi solusi bagi masyarakat sekitar. Ada yang sakit, minta doa ke kyai. Ada yang tidak punya beras, datang ke pondok pesantren. Ada yang punya masalah, minta nasehat kyai dan seterusnya," beber LaNyalla.
Peran para ulama dan kiai pengasuh pondok pesantren saat itu juga tidak bisa dihapus dari sejarah kemerdekaan Indonesia.
"Termasuk peran para ulama dan kiai se-Nusantara dalam memberikan pendapat dan masukan kepada Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yang kemudian menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia," tukasnya.
Sejarah juga mencatat lahirnya Resolusi Jihad untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang dikeluarkan pada 22 Oktober 1945 oleh Kiai Haji Hasyim Asy'ari di Surabaya.
"Ini artinya, peran dan kontribusi para ulama dan kiai dalam wajah sejarah lahirnya Indonesia bukanlah kecil. Bahkan sudah selayaknya disebut sebagai salah satu pemegang saham bangsa ini," tandas LaNyalla.
LaNyalla juga menilai peran pondok pesantren saat ini tidak kalah besar. Sebab, pondok pesantren tetap menjadi prototipe institusi masyarakat madani.
Sila Pertama Pancasila Sebagai Watak Dasar Bangsa
LaNyalla menjelaskan Pancasila menempatkan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi sila pertama, karena memang watak dasar atau DNA asli bangsa Indonesia adalah bangsa yang berketuhanan.
"Menurut Bung Karno, nilai-nilai dari Pancasila itu sudah ada sejak era Kerajaan dan Kesultanan Nusantara. Bung Karno mengaku hanya menemukan dan menawarkan kepada bangsa ini sebagai way of life," terangnya.
Itulah sebabnya di dalam konstitusi Indonesia, dalam pasal 29 ayat (1) tertulis dengan jelas bahwa 'Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa'. Sedangkan di ayat (2) juga tertulis 'Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu'.
"Sekali lagi saya katakan bahwa watak dasar bangsa ini adalah bangsa yang berketuhanan. Sehingga sudah seharusnya, dalam mengatur kehidupan rakyatnya, negara harus berpegang pada kosmologi dan spirit Ketuhanan," ucap LaNyalla.
Oleh karenanya, setiap kebijakan yang dibuat wajib diletakkan dalam kerangka etis dan moral agama. Sehingga bila ada kebijakan yang hanya menguntungkan kelompok tertentu dan merugikan kebanyakan rakyat, apalagi membuat rakyat sengsara, maka jelas kebijakan tersebut telah melanggar kerangka etis dan moral agama.
Dalam acara kuliah umum di Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Hidayatullah, LaNyalla didampingi 2 Senator Kalimantan Timur yakni Aji Mirni Mawarni dan Nanang Sulaiman, serta senator asal Aceh Fachrul Razi, Bustami Zainudin (Lampung), Evi Apita Maya (NTB), Djafar Alkatiri (Sulawesi Utara), Andi Muh. Ihsan (Sulawesi Selatan), Dharma Setiawan (Kepri) dan Staf Khusus Ketua DPD RI Sefdin Syaifudin.
Hadir pula Tokoh Pemuda Pancasila Balikpapan H. Sjahrir Taher dan Ketua Kadin Kota Balikpapan Yasser Arafat. Sementara itu pimpinan Ponpes Hidayatullah Ustadz Hamzah Akbar, didampingi Sekretaris Ponpes Ustadz Abu A'la Al Maududi, para pendiri Ponpes, pengurus dan ratusan mahasiswa/santri juga hadir pada acara tersebut.
Sebelum mengisi kuliah umum, LaNyalla sempat memberikan motivasi kepada para santri akan pentingnya keyakinan dalam mencapai tujuan. Dirinya juga dikalungi surban dakwah, yang menurut Ustadz Hamzah Akbar bermakna bahwa apapun profesi kita dakwah kebaikan harus disampaikan.
"Seperti Hidayatullah kami mengambil peran dalam dakwah dan pendidikan. Turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia," pungkasnya.