Politikus Partai Gerindra Ferry Yuliantono menggugat UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan meminta presidential threshold (PT) diubah menjadi 0 persen. Hakim MK bertanya apakah gugatan Ferry diajukan atas persetujuan partai.
Hal itu disampaikan Ketua MK Anwar Usman dalam sidang judicial review UU Pemilu di gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Kamis (6/1/2022). Mulanya, Anwar Usman bertanya apakah saat ini Ferry masih aktif menjadi anggota Partai Gerindra.
"Pertanyaan saya, Bapak sekarang masih anggota aktif Partai Gerindra?" tanya hakim Anwar Usman.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Masih," jawab Ferry.
"Masih ya, di pengurus ya?" tanya hakim.
"Wakil ketua umum, Pak," jawab Ferry.
Hakim lalu bertanya apakah Ferry mengajukan gugatan atas persetujuan partai atau tidak. Ferry kemudian menjawab sikap Partai Gerindra yang menolak presidential threshold 20 persen pada pembahasan RUU Pemilu.
"Wakil ketua umum ya, apakah Bapak mengajukan permohonan ini atas persetujuan partai?" kata hakim.
"Partai Gerindra adalah partai yang ketika di DPR kemarin itu sikap partainya menolak presidential threshold 20 persen dan bahkan fraksi Partai Gerindra adalah salah satu fraksi yang walkout Pak Hakim pada saat itu dan rasanya sampai dengan hari ini belum berubah keputusan resmi dari fraksi atau Partai Gerindra terhadap presidential threshold," jawab Ferry.
Hakim menilai jawaban Ferry tak sesuai dengan pertanyaan. Hakim pun mengulangi kembali pertanyaan apakah Ferry mengajukan gugatan atas persetujuan partai atau tidak.
"Tidak, yang saya tanyakan apakah Bapak mengajukan permohonan ini atas persetujuan partai?" tanya hakim.
"Saya mengajukan permohonan sebagai individu, sebagai warga negara, tetapi tentu dalam rangka untuk ya bukan, mohon izin Pak saya belum izin tetapi saya menggunakan hak pribadi saya," ujar Ferry.
Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.
Hakim Tanyakan Kapasitas Ferry
Hakim Daniel Yusmic mempertanyakan kapasitas Ferry dalam permohonan gugatan presidential threshold ini. Daniel bertanya apakah Ferry mengajukan gugatan sebagai pribadi atau mewakil partai.
"Nah dalam kaitan itu, dalam kapasitas atau legal standing-nya ini, ada beberapa catatan walaupun tadi Pak Ferry sudah menjelaskan tadi wakil ketua umum," kata hakim Daniel.
"Nah ini harus jelas dulu, di dalam posisi sebagai wakil ketua umum atau sebagai wakil negara," sambungnya.
Hakim Daniel mengatakan Ferry seharusnya melampirkan bukti-bukti posisinya dalam gugatan ini. Selain itu, hakim mengatakan Ferry harus memiliki surat keterangan dari Partai Gerindra yang menerangkan pengajuan gugatan presidential threshold tersebut atas dasar perseorangan.
"Tapi kalau misalnya sebagai Wakil Ketua Umum, anggaran dasarnya itu misalnya mengikat, maka itu juga perlu ada keterangan dari partai bahwa yang Pak Ferry ajukan permohonan ini adalah pribadi sehingga legal standing yang dikuatkan di sini adalah terkait dengan perseorangan ya, jadi tidak terkait dengan partai," kata hakim Daniel.
Lebih lanjut, hakim Daniel juga meminta Ferry untuk memperbaiki permohonan yang tercantum di halaman 19 tentang partai politik yang memilih walkout karena presidential threshold 20 persen. Menurut hakim, pemohon harus juga mencantumkan pandangan orang yang masuk dalam partai itu agar lebih objektif.
"Bahwa sekalipun misal ada partai yang setuju dengan presidential threshold, tapi ada pandangan yang sebenarnya berbeda dengan partai, kalau secara itu ada, karena kalau di sini kan ada empat fraksi yang walkout lalu punya pandangan tersendiri, punya perspektif tersendiri," ujarnya.
Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.
Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.
Ferry menggugat presidential threshold dari 20 persen menjadi 0 persen dengan alasan aturan itu dinilai menguntungkan dan menyuburkan oligarki.
"Penerapan presidential threshold juga berpotensi menghilangkan ketentuan tentang putaran kedua (vide Pasal 6A Ayat (3) dan Pasal 6A Ayat (4) UUD 1945), sebagaimana penyelenggaraan pemilihan presiden 2014 dan 2019 yang menghadirkan dua calon presiden yang sama (Joko Widodo dan Prabowo Subianto)," ujar Ferry.
Dia menilai ketentuan Pasal 6A ayat (3) dan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 secara implisit menghendaki munculnya beberapa calon dalam pemilihan presiden, yang tidak mungkin dilaksanakan dalam hal hanya terdapat dua pasangan calon. Selain itu, ketentuan Pasal 6A ayat (3) dan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 justru memberikan 'constitutional basis' terhadap munculnya calon presiden lebih dari dua pasangan calon dan karena itu presidential threshold jelas-jelas bertentangan dengan ketentuan di atas.
"Keberlakuan Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 melanggar Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945, yaitu penerapan presidential threshold tidak sejalan dengan prinsip keadilan pemilu (electoral justice), yang mensyaratkan adanya kesamaan perlakuan di antara peserta pemilihan umum," papar Ferry.