Para anggota keluarga Sutarno mengalami kelumpuhan. Meski begitu, putrinya yang lumpuh tetap tegar dan bernyanyi memperjuangkan hidup keluarga.
Sutarno adalah pria 63 tahun warga Jl Bulak Cabe RT 06 RW 009, Cilincing, Jakarta Utara. Dia punya istri dan empat anak. Sutarno sendiri mengalami sakit pada kakinya jika berjalan.
Penyakit lumpuh diderita oleh istri Sutarno bernama Mujaroh (56), anak ke-3 bernama Maya (32), dan anak ke-3 bernama Irfan (25). Sementara itu, dua anak lainnya normal, yaitu Jamhuri (36) dan Kurniawan (21).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
detikcom mendatangi kediaman keluarga Sutarno, Selasa (4/1/2022) pukul 10.00 WIB. Tampak Sutarno dan Mujaroh tengah duduk di depan rumah. Terlihat juga satu kursi roda di teras rumahnya. Mujaroh menjelaskan penyebab dirinya lumpuh.
"Kalau saya (lumpuh gara-gara) jatuh. Ini kaki saya pakai per. Terus kaki saya juga gepeng. Tadinya saya bisa jalan, terakhir lima tahun yang lalu. Saya keturunan dari bapak saya, dia juga nggak bisa jalan," kata Mujaroh.
Mujaroh kemudian bercerita soal anak ketiganya yang lumpuh, Irfan. Dulu, Irfan sempat bisa berjalan tetapi karena terjatuh dan tidak ditangani dokter, akhirnya dia tidak lagi bisa berjalan.
"Kalau Irfan jatuh. Dia kan pulang tuh dari kawan-kawannya, dia pulang lemas terus jatuh. Saya tawarin ke rumah sakit tapi nggak mau. Sampai sekarang kayak begini," ujarnya.
![]() |
Selain Mujaroh dan Irfan, Maya menderita penyakit yang sama. Namun, kata Mujaroh, Maya menderita penyakit tersebut sejak lahir.
"Kalau Maya memang dari lahir, udah melengkung (kakinya). Dia dari kecil pas dibedong nangis, ternyata melengkung," kata Mujaroh.
"Terus juga dia pernah tabrakan sama motor juga, dibawa ke rumah sakit. Mau dioperasi nggak bisa, udah seperti huruf O kakinya. Jadi dia tidur, kakinya melengkung aja tiap hari, pas mau dilurusin nggak bisa udah keras, jadi bersila aja dia," tutur Mujaroh.
Di tengah keterbatasannya, saat ini Maya menjadi tulang punggung keluarganya dengan cara mengamen. Mujaroh mengatakan biasanya Maya berkeliling dari siang hingga petang untuk mengamen.
"Dia kerja ngamen keliling-keliling deket-deket sini aja. Berangkat siang, pulang sore kadang habis magrib, kadang sehabis isya," ujar Mujaroh.
Dari hasil mengamen, Maya biasanya meraup keuntungan Rp 30 ribu sehari. Mujaroh mengatakan uang tersebut kemudian dibagikan ke keluarga.
"Kalau sepi cuma Rp 20 ribu atau Rp 30 ribu, soalnya dia kan ngamen nggak sendiri. Dia ngamen bertiga jadi dibagi, tapi kadang dapet Rp 50 ribu. Dia ngasih bapaknya ini buat beli rokok, ngasih ke saya buat jajan Rp 5 ribu. Sisanya buat Maya," kata dia.
Sebelumnya, Mujaroh dan keluarga sempat melarang Maya mengamen karena malu. Selain itu, Mujaroh khawatir akan kesehatan Maya yang kerap mengeluarkan darah dari mulutnya jika kelelahan.
"Saya sempat melarang untuk ngamen, nggak enak, malu. Tapi kata dia, ngapain malu orang ngamen doang, kalo nggak ngamen nggak jajan kita. Dia kalau sakit kalau kecapekan kan ngeluarin darah dari mulutnya. Kalau kurang tidur juga," tambahnya.
Sebelumnya, Sutarno sempat sempat bekerja sebagai buruh di pelabuhan. Karena kondisi kesehatan, akhirnya dia memutuskan berhenti.
"Saya kerja di perahu, bawa udang disuruh orang China, ke Cilincing disuruh dijual. Tapi udah lama berhenti, dari tahun 2003. Sampai sekarang udah nggak kerja, di rumah aja gini. Dianya juga bangkrut," kata Sutarno.
Simak juga 'Detik-detik Satpam di Cilincing Tersambar Petir':