Dalam setahun, setengah juta pasangan bercerai di Pengadilan Agama di seluruh Indonesia. Banyak alasan yang melatarbelakangi terjadinya perceraian tersebut. Mungkin ini salah satunya.
Hal itu menjadi pertanyaan pembaca detik's Advocate yang dikirim ke email: redaksi@detik.com dan di-cc ke andi.saputra@detik.com :
Selamat pagi detik's Advocate
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelumnya saya ucapkan terimakasih kepada detikcom telah memberikan rubrik konsultasi hukum, sehingga bisa memberikan pencerahan dalam kasus-kasus hukum sehari-hari.
Saya ingin menanyakan permasalahan rumah tangga kami. Saya adalah istri yang dinikahi oleh suami saya 3 tahun lalu. Awalnya, hubungan kami berjalan harmonis.
Satu tahun terakhir, rumah tangga kami mulai sering terjadi pertengkaran. Sebab suami saya kerap memakai uang saya tanpa izin. Jumlahnya tidak kecil. Bukan seratus ribu, kadang bisa Rp 10 juta. Baik di ATM (karena dia juga tahu nomor PIN ATM kami), atau mengambil uang di dompet. Dihitung-hitung, uang yang diambil sudah lebih dari Rp 100 juta. Ketika saya tanya buat apa uangnya, dia selalu marah.
Kesabaran saya sudah habis. Rencana mau mengajukan gugatan perceraian karena suami saya mencuri uang saya tersebut. Bagaimana menurut pertimbangan detik's Advocate?
Terima kasih.
Tia
Bali
JAWABAN:
Pertama-tama, kami ucapkan terima kasih telah memberikan apresiasi ke kami. Semoga permasalahan rumah tangga saudari segera terselesaikan.
Langkah pertama, sebelum menempuh gugatan cerai, kami menganjurkan agar masalah Anda diselesaikan secara kekeluargaan. Bila perlu, maka saudari bisa meminta pertimbangan sesepuh yang dihormati di keluarga besar saudari untuk memberikan nasihat agar rumah tangga saudari kembali harmonis. Sebab, perceraian adalah tindakan yang dibolehkan Tuhan tapi Tuhan sangat membencinya.
Kedua, bila jalan kekeluargaan sudah buntu, maka saudari bisa mengambil langkah gugat cerai ke Pengadilan Agama (bagi yang beragama Islam) atau ke Pengadilan Negeri (bagi yang beragama non-Islam). Berdasarkan Pasal 38 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas keputusan pengadilan.
Pasal 39 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan.
Lihat juga video 'Pria di Sukoharjo Curi lalu Bakar Motor Serta Racuni Istri Sendiri':
Untuk bercerai harus terdapat alasan-alasan sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 116 Kompilasai Hukum Islam, yang bunyinya:
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
e. salah satu pihak mendapat cacat badab atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
f. antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
g. Suami melanggar taklik talak;
h. peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Baik KHI, UU Perkawinan dan PP 9/1975 sama-sama mengatur mengenai alasan huruf a sampai huruf f. Sedangkan untuk alasan huruf g dan huruf h hanya ada di KHI. Khusus beragama Islam, yang dijadikan dasar adalah UU Perkawinan dan KHI.
Bagaimana Soal Suami Mencuri Uang Istri?
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat pengecualian keberlakuan pidana yang berkaitan dengan harta kekayaan jika terjadi dalam keluarga, terutama suami istri. Hal itu sebagaimana disebutkan pada Pasal 367 ayat (1) KUHP dan Pasal 367 KUHP, yang berbunyi:
Pasal 367 ayat (1) KUHP terkait Pencurian
Jika pembuat atau pembantu dari salah satu kejahatan dalam bab ini (Bab XXII - Pencurian) adalah suami (istri) dan orang yang terkena kejahatan dan tidak terpisah meja dan ranjang atau terpisah harta kekayaan, maka terhadap pembuat atau pembantu itu tidak mungkin diadakan tuntutan pidana.
Pasal 376 Ketentuan dalam pasal 367 berlaku bagi kejahatan-kejahatan yang dirumuskan dalam bab ini (Bab XXIV - Penggelapan).
R. Soesilo dalam bukunya 'Kitab Undang- Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal' menjelaskan bahwa:
Pencurian atau membantu pada pencurian atas kerugian suami atau istrinya tidak dihukum, oleh karena kedua orang itu sama-sama memiliki harta-benda suami-istri. Hal ini didasarkan pula atas alasan tata-susila. Bukankah mudah dirasakan tidak pantas, bahwa dua orang yang telah terikat dalam surat hubungan suami-istri, pertalian yang amat erat yang biasa disebut perkawinan itu oleh penuntut umum (wakil pemerintah) diadu satu melawan yang lain di muka sidang pengadilan. Baik mereka yang tunduk pada Kitab Undang- Undang Hukum Sipil, maupun yang tunduk pada hukum Adat (Islam), selama tali perkawinan itu belum terputus maka pencurian antara suami-istri tidak dituntut.
Jadi, selama Anda dan suami masih terikat dalam perkawinan, Anda tidak dapat melaporkan suami Anda atas tuduhan pencurian atau penggelapan karena adanya percampuran harta (harta bersama) karena perkawinan.
Solusi
Sesuai Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Harta yang 'digelapkan/dicuri' oleh suami Anda tidak dapat dituntut secara pidana.
Atas permasalahan yang Anda hadapi, maka alasan yang bisa dipakai untuk menggugat cerai suami adalah 'antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga'. Kepada majelis hakim, nanti Anda bisa menjelaskan salah satu sebab perselisihan dan pertengkaran itu adalah soal perselisihan pengaturan keuangan rumah tangga.
Langkah pidana lainnya, yaitu melaporkan suami Anda ke kepolisian dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Namun untuk melaporkan hal itu, perlu dikaji lagi lebih mendalam apakah perselisihan dan pertengkaran yang Anda alami sudah benar-benar memenuhi rumusan delik PKDRT. Untuk langkah ini, sebaiknya Anda meminta pendapat hukum dan pendampingan dari advokat.
Demikian jawaban singkat kami.
Semoga masalah Anda segera selesai.
Terima kasih
Tim Pengasuh detik's Advocate
Tentang detik's Advocate
detik's Advocate adalah rubrik di detikcom berupa tanya-jawab dan konsultasi hukum dari pembaca detikcom. Semua pertanyaan akan dijawab dan dikupas tuntas oleh para pakar di bidangnya.
Pembaca boleh bertanya semua hal tentang hukum, baik masalah pidana, perdata, keluarga, hubungan dengan kekasih, UU Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE), hukum merekam hubungan badan (UU Pornografi), hukum waris, perlindungan konsumen dan lain-lain.
Identitas penanya bisa ditulis terang atau disamarkan, disesuaikan dengan keinginan pembaca. Seluruh identitas penanya kami jamin akan dirahasiakan.
Pertanyaan dan masalah hukum/pertanyaan seputar hukum di atas, bisa dikirim ke kami ya di email: redaksi@detik.com dan di-cc ke-email: andi.saputra@detik.com
Semua jawaban di rubrik ini bersifat informatif belaka dan bukan bagian dari legal opinion yang bisa dijadikan alat bukti di pengadilan serta tidak bisa digugat.