Pimpinan KPK Bicara Efektivitas soal Kades Korupsi Tak Harus Dipenjara

Pimpinan KPK Bicara Efektivitas soal Kades Korupsi Tak Harus Dipenjara

Azhar Bagas Ramadhan - detikNews
Kamis, 09 Des 2021 15:32 WIB
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata (Azhar-detikcom)
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata (Azhar/detikcom)
Jakarta -

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menjelaskan soal pernyataannya yang mengatakan kepala desa yang terbukti korupsi tak harus dilimpahkan ke pengadilan, bahkan dipenjara. Hal itu dia tegaskan demi efektivitas karena biaya penanganan perkara yang tak sebanding dengan biaya yang dikorupsi.

"Kemarin sempat ramai, perkara kecil-kecil itu kenapa nggak diproses, harus diingat dalam penanganan korupsi kita juga harus memegang prinsip efektivitas dan efisiensi," kata Alex kepada wartawan, Kamis (9/12/2021).

"Nyolongnya Rp 5 juta, biaya memprosesnya Rp 100 juta. Kan nggak mungkin juga. Suruh balikan (duitnya), pecat orang itu, selesai," tambahnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Alex mengatakan hal itu kerap terjadi dan berakhir memboroskan uang negara. Pasalnya, kata Alex, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tak tersebar di setiap daerah sehingga membutuhkan biaya yang cukup besar.

"Nah ini harus diperhatikan juga, jangan sampai kita juga buang-buang duit juga dalam penanganan perkara. Dan apakah itu terjadi? Loh banyak. Untuk perkara-perkara di Papua, Maluku. Ingat pengadilan tipikor itu hanya ada di ibu kota provinsi," kata Alex.

ADVERTISEMENT

"Ketika biaya mendatangkan tersangka berikut saksi-saksinya yang jauh tempatnya dan menggunakan pesawat, itu luar biasa besarnya biaya yang dikeluarkan. Nah itu juga menjadi beban buat teman-teman kejaksaan ketika akan melalukan penuntutan biayanya nggak tersedia," sambungnya.

Selanjutnya, kata Alex, dalam proses audit biasanya terduga koruptor itu hanya diminta ganti rugi dan tidak sampai dilimpahkan ke pengadilan. Katanya, banyak sanksi yang bisa dijatuhkan kepada orang tersebut, salah satunya dipecat.

"Nah dan ya banyak sebetulnya itu kalau sudah menyangkut aparat penegak hukum, auditor, inspektorat, BPKP, BPK itu dalam melakukan audit ada juga temuan-temuan yang merugikan negara. Oleh mereka apa, dilakukan tuntutan ganti rugi, ada perintah untuk mengembalikan kerugian itu, tidak sampai dilimpahkan ke penegakan hukum," ujarnya.

"Bukan tidak ada sanksi buat mereka yang terbukti secara administratif itu ditemukan ada kesalahan, ada, rekanan yang nakal blacklist, 2 tahun nggak boleh ikut lelang. Pejabat yang melakukan penyimpangan nonjob, itu kan bentuk sanksi juga," tambahnya.

Lebih lanjut, Alex kembali menegaskan bahwa setiap penyimpanan tentu akan dilakukan sanksi. Namun setiap perkara tak selamanya harus dibawa ke pengadilan demi prinsip efektivitas.

"Jadi sekali lagi tidak semua penyimpangan itu harus berakhir di pengadilan, itu prinsipnya. Kalau sudah kelewatan saya bilang ya sudah, kalau dari efektivitas, efisiensi itu dan untuk membuat jera yang lain limpahkan ke pengadilan, tapi itu tadi prinsip efektifitas efisiensi dan kepastian hukum dan keadilan," katanya.

Simak selengkapnya di halaman berikutnya.

Sebelumnya, Alexander Marwata menyebut kepala desa bisa mengembalikan uang yang dikorupsi tanpa diadili di persidangan. Alex mengatakan hal itu bisa dilakukan jika ada musyawarah bersama.

"Sebetulnya kalau dari jajaran Kejaksaan Agung dan Kepolisian RI kan sudah restorative justice tadi. Kalau ada kepala desa taruhlah betul terbukti ngambil duit tapi nilainya nggak seberapa, kalau diproses sampai ke pengadilan, biayanya lebih gede. Artinya apa? Nggak efektif, nggak efisien, negara lebih banyak keluar duitnya," ungkap dia di Peluncuran Desa Antikorupsi di Kampung Mataraman Panggungharko, Yogyakarta, Rabu (1/12).

"Dibandingkan apa yang nanti kita peroleh, ya sudah suruh kembalikan. Ya kalau ada ketentuannya pecat kepala desanya, selesai persoalan kan, begitu," imbuh Alex.

Alex mengatakan hal itu memungkinkan terjadi jika ada aturan baru yang mendukung. Dia juga menyebut untuk memberi efek jera kepada kepala desa yang bermasalah itu tidak harus penjara.

"(Misal) 'Nggak bisa Pak, kita nggak ada ketentuan untuk memecat kepala desa kalau tidak melalui keputusan hakim'. Ya bagaimana dibuatlah aturan apalah bentuknya kan seperti itu," ujar Alex.

"Mungkin dengan musyawarah masyarakat desa kan mereka yang milih. Kita sampaikan 'Nih kepala desa mau nyolong nih, mau kita penjarakan atau kita berhentikan?', pastikan begitu selesai," tambahnya.

Halaman 2 dari 2
(azh/aud)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads