Nasib UU Cipta Kerja telah diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (26/11) kemarin. Dari putusan itu, ada dua hakim MK yang menilai pasal PHK, outsourcing, hingga sistem pengupahan buruh harus dibatalkan. Yaitu Ketua MK Anwar Usman dan hakim MK Arief Hidayat.
Sebagaimana dikutip detikcom, Jumat (27/11/2021), sikap Anwar-Arief tertuang dalam putusan Nomor Nomor 103/PUU-XVIII/2020. Perkara ini diajukan oleh Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI).
Dalam putusan ini, Anwar-Arief menilai 4 isu yang digugat haruslah dikabulkan karena berkaitan erat dengan penghormatan (to respect), perlindungan (to protect), dan pemenuhan (to fulfil) hak konstitusional buruh. Empat hal itu adalah:
Jangka waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (selanjutnya disingkat PKWT);
Relasi Antara Perusahaan Alih Daya (outsourcing)-Perusahaan Pemberi Kerja dengan Pekerja;
Perihal Pengupahan; dan
Pembayaran Pesangon Dalam Pemutusan Hubungan Kerja.
Berikut alasan Anwar-Arief:
1. Jangka Waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (selanjutnya disingkat PKWT)
Hal ini tentunya merugikan pekerja karena statusnya selalu sebagai pegawai kontrak (PKWT) dan tidak pernah menjadi pegawai tetap (PKWTT). Oleh karena itu, pada prinsipnya jangka waktu pekerjaan yang bersifat sementara atau akan selesai pada waktu tertentu adalah 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan.
Akan tetapi, apabila pekerjaan yang bersifat sementara dimaksud belum selesai, maka dapat diperpanjang maksimal 1 (satu) tahun. Jika setelah jangka waktu perpanjangan, pekerjaan dimaksud belum selesai, maka perusahaan pemberi kerja harus mengubah konstruksi PKWT yang bersifat sementara menjadi PKWTT yang bersifat tetap.
Hal ini semata-mata untuk memberikan jaminan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja sebagaimana diatur di dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Selain itu, jangka waktu untuk PKWT ini harus diatur dalam undang-undang dan tidak boleh dalam peraturan pemerintah karena terkait erat dengan pengaturan hak konstitusional pekerja, sehingga tidak bisa hanya ditentukan oleh Pemerintah saja melalui instrument hukum Peraturan Pemerintah (PP), melainkan juga ditentukan oleh DPR dan Pemerintah melalui instrumen hukum undang-undang.
Oleh karena Pasal 56 ayat (3) UU Ciptaker ini berkait kelindan dengan Pasal 59 ayat (1) huruf b UU Ciptaker, pertimbangan hukum Pasal 56 ayat (3) UU Ciptaker berlaku pula untuk Pasal 59 ayat 1 huruf b UU Ciptaker.
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, dalil Pemohon beralasan menurut hukum sepanjang isu hukum terkait.
2. Relasi Antara Perusahaan Alih Daya (Outsourcing)-Perusahaan Pemberi Kerja dengan Pekerja
Pasal 66 UU Ciptaker yang menyatakan,
(1) Hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan pekerja/buruh yang dipekerjakannya didasarkan pada perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis baik perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
(2) Perlindungan pekerja/buruh, upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul dilaksanakan sekurang-kurangnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya.
(3) Dalam hal perusahaan alih daya mempekerjakan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka perjanjian kerja tersebut harus mensyaratkan pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh apabila terjadi pergantian perusahaan alih daya dan sepanjang objek pekerjaannya tetap ada.
(4) Perusahaan alih daya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berbentuk badan hukum dan wajib memenuhi Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.
(5) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlindungan pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.";
Namun demikian, ketentuan dimaksud yang semula diatur dalam Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2) UU Ketenagakerjaan, tidak dimuat lagi dalam ketentuan Pasal 66 UU Ciptaker.
Pertanyaannya, apakah dengan tidak dimuatnya pasal 66 ayat (1) dan ayat (2) UU Ketenagakerjaan menyebabkan Pasal 66 UU Ciptaker bertentangan dengan UUD 1945?
Akan tetapi, apabila desain Pasal 66 Ciptaker merugikan pekerja, yang harus diberlakukan adalah kebijakan politik hukum yang paling menguntungkan pekerja. Dalam desain Pasal 66 UU Ketenagakerjaan, apabila pekerja perusahaan alih daya yang seharusnya mengerjakan pekerjaan bersifat penunjang seperti pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha tenaga pengaman (security), usaha jasa penunjang di bidang pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyedia jasa angkutan pekerja, ternyata mengerjakan pekerjaan yang bersifat pokok yang terkait dengan core business perusahaan pemberi kerja, maka secara otomatis hubungan kerja pekerja dengan perusahaan alih daya beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan pemberi kerja.
Hal ini dilakukan tentunya semata-mata untuk memberikan penghargaan yang lebih kepada pekerja yang berhasil meningkatkan skill dan keahliannya sehingga dipandang mampu mengerjakan pekerjaan yang bersifat pokok. "Oleh karena itu, menurut kami Pasal 66 UU Ciptaker tidak memberikan perlindungan dan penghargaan yang memadai terhadap pekerja yang telah meningkatkan skill dan keahliannya dalam hubungan kerja sehingga pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945."
Dengan demikian, permohonan Pemohon beralasan menurut hukum sepanjang isu hukum terkait.
Lihat Video: MK Minta UU Ciptaker Direvisi, Demokrat: Ini Pelajaran Mahal Pemerintah