PKS Kritik Permendikbud Cegah Kekerasan Seksual, Soroti soal Consent

Tim detikcom - detikNews
Jumat, 05 Nov 2021 16:32 WIB
Ilustrasi Pencegahan Kekerasan Seksual (Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta -

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud-Ristek) Nadiem Makarim menerbitkan Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (PPKS). Terbitnya Permendikbud ini pun menuai kritik.

Kritik itu salah satunya datang dari anggota Komisi X DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah. Ledia menilai terbitnya Permendikbud ini tidak tepat lantaran UU yang menjadi dasarnya hukumnya belum ada.

"Di dalam Pasal 8 ayat 2 Undang-Undang (No 12 Tahun 2011) tersebut, dinyatakan bahwa Peraturan Menteri bisa memiliki kekuatan hukum mengikat manakala ada perintah dari peraturan perundangan yang lebih tinggi. Maka terbitnya Peraturan Menteri ini menjadi tidak tepat karena undang-undang yang menjadi cantolan hukumnya saja belum ada," kata Ledia seperti dikutip detikcom dalam laman resmi PKS, Jumat (5/11/2021).

Lebih lanjut, politisi PKS ini menyayangkan bahwa beberapa muatan dalam isi Peraturan Menteri ini jauh dari nilai-nilai Pancasila. Bahkan dia menuding Permendikbud ini cenderung mengarah pada nilai-nilai liberalisme.

"Sangat disayangkan bahwa satu peraturan yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kejahatan terkait kekerasan seksual justru sama sekali tidak memasukkan landasan norma agama di dalam prinsip Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang termuat di pasal 3. Padahal Pancasila dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa adalah dasar negara yang setiap silanya dijabarkan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) merupakan cara manusia Indonesia bersikap dan mengambil keputusan," ungkapnya.

Selain itu, menurut Ledia, Permendikbud ini banyak memasukkan unsur liberal dalam mengambil sikap. Dia mencontohkannya dengan bagian soal jenis kekerasan seksual. Dia menyoroti soal konsep consent.

"Definisi kekerasan seksualnya menjadi bias, misalnya saja ketika memasukkan salah satu jenis kekerasan seksual pada 'penyampaian ujaran yang mendiskriminasi identitas gender'," kata Ledia.

"Ditambah pula Peraturan Menteri ini memasukkan persoalan 'persetujuan' atau yang biasa dikenal sebagai consent menjadi diksi yang berulang-ulang digunakan sebagaimana bisa ditemukan pada pasal 5 ayat 2. Bahwa beraneka tindakan atau perilaku akan masuk dalam konteks kekerasan seksual bila tidak terdapat persetujuan dengan korban. Ini tentu merupakan satu acuan peraturan yang berbahaya," sambungnya.

Adapun bunyi Pasal yang dipermasalahkan ialah sebagai berikut:

Klik halaman selanjutnya.




(rdp/rdp)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork