Penjabat Kepala Daerah Imbas Pilkada 2024 Disarankan dari Sipil, Ini Alasannya

Lisye Sri Rahayu - detikNews
Jumat, 08 Okt 2021 18:09 WIB
Eko Prasojo (Foto: YouTube LP3ES)
Jakarta -

Guru besar Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (UI), Eko Prasojo, menilai adanya 271 daerah yang akan diisi oleh penjabat gubernur hingga bupati/wali kota imbas Pilkada Serentak 2024 adalah kemunduran birokrasi. Adanya penjabat itu dinilai akan menghasilkan kinerja yang tak maksimal.

"Durasi waktu penjabat kepala daerah ini, kalau kita hitung rata-rata tahun depan itu bulan Mei 7 gubernur akan berakhir, total tahun depan itu sekitar 101 kepala daerah. Tahun depannya lagi 170 kepala daerah," kata Eko dalam webinar yang digelar oleh LP3ES, Jumat (8/10/2021).

"Jadi rata-rata dua tahun lebih penjabat kepala daerah menjalankan pemerintahan. Artinya, berpotensi membuat reformasi birokrasi itu mengalami stagnasi atau mungkin kemunduran," lanjutnya.

Eko pun menjabarkan alasan dia menyebut hal itu sebagai kemunduran birokrasi. Dia khawatir kerja daerah tidak maksimal jika dipimpin oleh penjabat kepala daerah.

"Wong dengan kepala daerah definitif saja banyak terjadi kasus korupsi, proses reformasi birokrasi tidak terjadi perubahan, berjalan di tempat, apalagi dengan penjabat kepala daerah yang secara psikologis merasa ya 'saya hanya berstatus sebagai penjabat kepala daerah, bukan definitif', ini masalah profesionalitas," jelasnya.

Sekretaris Eksekutif Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional (KPRBN) itu menyoroti durasi kepemimpinan penjabat kepala daerah dalam menjalankan pemerintah. Dia menilai penjabat kepala daerah memimpin dalam waktu yang cukup lama.

"Penjabat kepala daerah ini waktunya luas, dua tahun lebihlah. Kalau 2022 nanti selesai bulan Mei, katakan kemudian Pilkada November 2024, berarti kurang-lebih 2 tahun 5 bulan, itu artinya waktunya sangat lama untuk menjalankan pemerintahan yang tidak definitif. Bagaimana nasib reformasi birokrasi, wong dipimpin sama kepala daerah definitif saja tak berjalan, apalagi penjabat kepala daerah," kata dia.

Selain itu, Eko menyoroti legitimasi demokrasi dengan adanya penjabat kepala daerah. Sebab, penjabat kepala daerah dipilih oleh pemerintah pusat.

"Kedua legitimasi demokrasi dipertaruhkan, karena penjabat kepala daerah bukan hasil dari pilihan masyarakat, tapi lebih pada pilihan dan penunjukan pemerintah pusat. Ini soal akseptabilitas, bagaimana akseptabilitas penjabat kepala daerah di mata masyarakat sebagai stakeholder, apalagi ini didrop dari pusat, apalagi didrop mungkin kawan-kawan TNI/Polri yang sudah lama meninggalkan dwifungsi ABRI terus sekarang masuk ke pemerintahan, mungkin sudah nggak terbiasa dengan permasalahan pemerintahan pada umumnya, karena profesionalitas kawan-kawan TNI/Polri tentu dibentuk untuk pertahanan dan keamanan," kata dia.




(lir/tor)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork