Lebih lanjut LaNyalla memaparkan keberadaan Undang-Undang MD3 yang ada sekarang sebenarnya tidak derivatif dari Undang-Undang Dasar. Dikatakannya, konstitusi Indonesia jelas memerintahkan bahwa pengaturan lebih lanjut mengenai pelaksanaan fungsi, tugas serta kewenangan DPR, DPD dan DPRD harus diatur melalui undang-undang yang terpisah.
Hal ini termaktub dalam pasal 22C ayat 4 junto pasal 19 ayat 2 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Susunan dan kedudukan DPD diatur dengan undang-undang. Begitupun dengan susunan dan kedudukan DPR.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Makna kata 'dengan' dalam ayat tersebut di atas berarti pengaturan tentang susunan dan kedudukan DPD diatur dalam ketentuan undang-undang tersendiri, bukan dalam Undang-Undang MD3," ujar LaNyalla.
Sebab, selain tidak derivatif dari konstitusi, Undang-Undang MD3 juga mengandung ketimpangan dalam pengaturan kelembagaan antara DPR RI dan DPD RI.
Secara kasat mata ada tiga ketimpangan, yaitu pertama, pengaturan DPR diatur dalam pasal 67 sampai dengan pasal 245. Sedangkan pengaturan DPD diatur dalam pasal 246 sampai dengan 262. Hal ini berarti secara umum DPR diatur dalam 178 ketentuan, sedangkan DPD diatur dalam 16 ketentuan.
"Padahal, keduanya merupakan lembaga perwakilan yang harus saling mengisi demi implementasi check and balance dalam demokrasi desentralistik," ujar dia.
Kedua, alat kelengkapan di antara DPR dan DPD juga timpang, karena di DPR terdapat 10 item alat kelengkapan seperti tertulis di pasal 83 ayat 1 Undang-Undang MD3. Sementara di DPD hanya ada 7 item alat kelengkapan, seperti tertulis di pasal 259 ayat 1 Undang-Undang MD3. Ketiga, terhadap hak anggota DPR dan anggota DPD juga mengalami diskriminasi yang sangat mencolok.
Hak anggota DPR dirumuskan dalam 11 item, di pasal 80 Undang-Undang MD3. Sedangkan hak anggota DPD dirumuskan hanya 7 item di pasal 257 Undang-Undang MD3.
"Padahal, jika hak tersebut tidak diatur secara equal, maka hal ini jelas melanggar pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945," beber LaNyalla.
Menurutnya, sudah barang tentu hal ini menjadi tugas semua, baik DPD RI, DPR RI, maupun Presiden.
"Bila kita serius ingin membangun sistem ketatanegaraan yang ideal dan lebih baik, dalam sambutan saya pada puncak peringatan HUT ke-17 DPD RI pada 1 Oktober lalu, saya menyatakan, bahwa posisi DPD RI dalam memandang rencana amandemen konstitusi berada dalam koridor untuk kepentingan bangsa dan negara, terutama kepentingan daerah, sebagai bagian dari tugas dan peran DPD RI sebagai wakil daerah," katanya.