"Iya (pencemaran), karena bukan pada tempatnya. Paracetamol kok ada di laut, apa pun yang tidak pada tempatnya, apa pun yang melebihi kadarnya di suatu tempat tergolong pencemaran," jelasnya.
Yogi menuturkan, selama ini DLH rutin melakukan pemantauan air laut selama dua kali dalam setahun. Kendati demikian, paracetamol tak menjadi komponen yang diuji.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau paracetamol bukan parameter yang standar ya. Cuma memang si perisetnya meneliti yang lebih spesifik, mungkin karena punya pengalaman tertentu makanya kepikiran ke arah sana. Nanti kita cek juga sih, nanti bisa jadi parameter yang kita ukur juga," ujarnya.
Simpulan Awal Peneliti
Peneliti Pusat Penelitian Oseanografi BRIN, Zainal Arifin, yang terlibat dalam penelitian ini, mengungkap sumber paracetamol ini. Dugaan awalnya, paracetamol ini berasal dari masyarakat yang memakai obat tersebut secara berlebihan.
"Pemakaian yang berlebihan karena mudahnya akses masyarakat pada paracetamol. Ini kan obat analgesik kan, kalau sakit-sakit kan minum itu," ujar Zainal saat dihubungi detikcom.
Selanjutnya, dia menjelaskan kandungan paracetamol ini juga bisa dikarenakan sistem pembuangan air dari rumah-rumah warga yang buruk. Hal ini membuat kotoran yang terbuang tak bisa terurai dengan baik.
"Waste water treatment kita yang kurang baik. Yang tidak bisa menyaring paracetamol itu kalau kita minum paracetamol berlebihan itu akan terbuang melalui air seni dan feses kita, lalu masuk septic tank. Jadi pengelolaannya yang kurang bagus," ungkapnya.
Selain itu, Zainal mencontohkan perihal warga di pesisir utara Jakarta yang sistem pembuangannya langsung ke sungai tanpa diurai terlebih dahulu. Menurutnya, hal ini bisa menjadi salah satu sumber tingginya pencemaran paracetamol di laut Jakarta.
"Kalau lihat saja misalnya di Sungai Sunter itu, bagaimana nelayan membuang pipis dan BAB kan langsung dibuang ke sungai. Dan orang sakit kan nggak cuma satu. Belum lagi dari Bogor," kata Zainal.
Simak selengkapnya, di halaman: