Alasan MK Bolehkan Privatisasi Anak-Cucu BUMN: Untuk Efisiensi

Andi Saputra - detikNews
Kamis, 30 Sep 2021 09:15 WIB
Ilustrasi (Ari Saputra/detikcom)
Jakarta -

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohonan judicial review UU BUMN yang dimohonkan Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FPSPPB). MK menegaskan saham anak dan/atau cucu BUMN boleh dijual dengan segala akibat hukumnya. Apa alasan MK?

"Dalam pengelolaan minyak dan gas bumi, Pasal 33 UUD 1945 tidak menolak ide privatisasi dan juga tidak menolak ide kompetisi sepanjang tidak meniadakan penguasaan negara," demikian bunyi pertimbangan putusan MK yang dikutip detikcom, Kamis (30/9/2021).

Kepemilikan privat dalam badan usaha juga bersifat relatif dan negara cq pemerintah tidak harus memiliki saham 100 persen. Dengan perkataan lain, apabila pemerintah hanya memiliki saham mayoritas relatif, sepanjang tidak meniadakan penguasaan negara cq pemerintah untuk menjadi penentu utama kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak.

"Hal demikian tidaklah bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945," ujar MK.

Berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 a quo, kebebasan negara untuk mengatur dan membuat kebijakan atas bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dibatasi dengan prinsip 'untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat'. Hal itu dengan mempergunakan empat tolok ukur yaitu:

(i) kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat,
(ii) tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat,
(iii) tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam, serta
(iv) penghormatan terhadap hak rakyat secara turun temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam.

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air juga menyebutkan pengelolaan SDA bersifat mutlak diselenggarakan oleh negara.

"Sedangkan swasta hanya mendapatkan peran sisa (residu) tatkala pengusahaan atas air yang dilakukan oleh BUMN/BUMD sebagai perusahaan prioritas yang diberi amanat untuk melakukan pengusahaan atas air oleh negara, tidak dapat melakukan fungsinya tersebut," papar MK.

Berdasarkan uraian di atas pertimbangan tentang pengelolaan sumber daya alam, sebagai implementasi atas prinsip hak dikuasai oleh negara sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945 dan dimaknai oleh Mahkamah sebagai kekuasaan untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudenaad) untuk tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat antar-tiap jenis pengelolaan sumber daya alam memiliki karakteristik berbeda yang disesuaikan dengan sifat yang khas dari sumber daya alam dimaksud.

"Namun demikian, syarat absolut yang harus dipenuhi dan harus diperhatikan oleh negara dalam pengelolaan semua jenis sumber daya alam adalah pengelolaan harus dilakukan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengan kata lain, frasa 'untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat' digunakan untuk menilai konstitusionalitas pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan oleh negara apakah sudah dilakukan untuk tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat atau belum," terang MK.

Privatisasi sebenarnya hal yang tidak dapat dihindarkan akan terjadi dalam kinerja perseroan untuk tujuan peningkatan kinerja, nilai perusahaan, dan efisiensi.Mahkamah Konstitusi

Dalam hal BUMN melakukan privatisasi, modal yang berasal dari perusahaan induk untuk membentuk anak perusahaan tidaklah serta-merta dapat dianggap sebagai keuangan negara karena berasal dari portofolio keuangan yang terpisah. Dengan demikian, anak perusahaan yang dibentuk oleh perusahaan BUMN tidak dapat dikatakan sebagai BUMN karena modalnya tidak berasal dari keuangan negara namun dari keuangan perusahaan induk yang pengelolaannya terpisah dari keuangan negara yang ditempatkan pada BUMN perusahaan induk.

"Bahwa berkenaan dengan anak perusahaan BUMN yang sejatinya bukanlah BUMN, tanpa dilakukan privatisasi pun dengan sendirinya bentuk usahanya yang dikelola menggunakan prinsip business judgement rules," ujar MK.

Terhadap anak perusahaan BUMN yang jenis usahanya strategis, privatisasi tidak dilarang namun perlu dikendalikan dan dilakukan pengawasan/kontrol dari negara. Bentuk pengendalian oleh negara dapat dilaksanakan di antaranya dengan tidak membuka peluang untuk penjualan saham secara keseluruhan kepada publik dalam IPO.

"Fungsi kontrol tetap dapat dilakukan dengan adanya kepemilikan saham mayoritas dari perusahaan induk (BUMN) dapat menjaga agar tetap dimilikinya voting control (kontrol atas suara terbanyak karena kepemilikan saham mayoritas) dalam menghasilkan keputusan-keputusan dan kebijakan terkait pengelolaan perusahaan. Hal ini dapat menjadi perwujudan peran negara dalam melaksanakan pengawasan pengelolaan BUMN," tutur MK.

Dalam hal ada 'holdingisasi' di antara BUMN dan anak perusahaan BUMN, maka hal ini tidak dapat dikatakan antara induk dengan anak atau antara anak dengan anak perusahaan menjadi terpisah-pisah dan bahkan saling bersaing dalam menjalankan kegiatan bisnis. Sekalipun misalnya kemudian sebagian saham pada anak perusahaan dialihkan ke pihak swasta sehingga saham pada BUMN induk menjadi berkurang, tetapi negara selalu bisa menggunakan hak kepemilikan saham yang disebut sebagai golden share.

"Adapun golden share ini dapat menentukan bahwa negara atau induk perusahaan BUMN mempunyai hak veto untuk tujuan mengamankan posisi negara dalam mengendalikan anak perusahaan BUMN agar tidak menyimpang dari tujuan usaha demi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Di sisi lain, dalam hukum perseroan, privatisasi sebenarnya hal yang tidak dapat dihindarkan akan terjadi dalam kinerja perseroan untuk tujuan peningkatan kinerja, nilai perusahaan, dan efisiensi yang pada praktiknya telah banyak dijalankan," kata MK memberikan penjelasan.

Bahwa kebijakan politik hukum pemerintah yang saat ini dilakukan, meskipun nantinya akan ada saham swasta dalam anak perusahaan BUMN, anak perusahaan BUMN tersebut masih dalam penguasaan negara untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Tanpa bermaksud menilai legalitas peraturan pelaksana, prinsip tersebut telah diimplementasikan dalam ketentuan Pasal 2A ayat (2) dan ayat (7) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016, yang pada pokoknya menyatakan bahwa negara wajib memiliki saham dengan hak istimewa (saham dwiwarna/golden share) dalam anak perusahaan BUMN dan anak perusahaan BUMN tersebut tetap diperlakukan sama dengan BUMN agar mendapatkan penugasan pemerintah atau melaksanakan pelayanan umum.

"Mengadili, menolak permohonan untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang yang disiarkan channel YouTube MK, Rabu (29/9).

Dalam sidang, pemerintah menghadirkan para ahli, salah satunya Dekan FH Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono. Bayu menyatakan Pasal 33 ayat (5) UUD 1945 menyatakan:

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.

Konsekuensi adanya ketentuan Pasal 33 ayat (5) UUD 1945 ini adalah pembentuk UU diberikan kewenangan memilih kebijakan pengaturan mengenai BUMN serta ketentuan privatisasi BUMN meliputi maksud dan tujuan, prinsip privatisasi, dan kriteria BUMN yang dapat di privatisasi, serta tata cara privatisasi.

"Konsekuensi UUD 1945 tidak mengatur mengenai BUMN dan bagaimana ketentuan privatisasi BUMN maka dengan demikian mengenai BUMN dan ketentuan privatisasi BUMN sepenuhnya menjadi kebijakan hukum terbuka pembentuk Undang-Undang untuk mengaturnya," kata Bayu.

Simak video '7 Perusahaan BUMN yang Mau Dibubarkan Erick Thohir, Apa Saja?':






(asp/nvc)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork