Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy menyebut tuberkulosis (TBC) lebih berbahaya daripada virus Corona (COVID-19) di beberapa bagian. Salah satunya, pengidap TBS memiliki kelemahan fisik lebih buruk daripada COVID-19.
"Menurut saya, TBC dalam hal tertentu, dari segi tertentu, lebih bahaya dari COVID-19. Kalau COVID-19, kalau pada tingkat kritis dan kemudian meninggal, atau bisa selamat akan kemungkinan pulih tinggi," kata Muhadjir dalam acara konferensi pers sosialisasi Perpres No 72 Tahun 2021 dan Perpres No 67 Tahun 2021 tentang Percepatan dan Penurunan Stunting dan Penanggulangan Tuberkulosis, secara virtual, Selasa (28/7/2021).
"Tapi TBC ini kronis telaten. Kalau penderita tidak sampai pada ujung kematian, akan menjadi sumber daya manusia yang ringkih, yang tidak produktif, yang secara bukan ikut dalam pembangunan, tapi ikut serta menjadi beban dalam pembangunan. Marilah kita perangi betul TBC ini," ujarnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Muhadjir mengaku TBC sering disepelekan karena penyebarannya tidak secepat COVID-19. Padahal TBC pun sama menularnya, khususnya di keluarga.
"TBC karena tidak memiliki tingkat kecepatan seperti COVID-19, sering dalam keluarga menganggap remah kalau ibu atau ayah kena TBC, akan berada bersama-sama tanpa ada pencegahan sejak dini," kata Muhadjir.
"Saya ketika mahasiswa tinggal bersama keluarga yang menderita TBC, ayahnya. Setelah anak-anaknya besar, ada guru, pengusaha, ketahuan bahwa dia telah membawa penyakit, ketularan dari orang tuanya," ujarnya.
Muhadjir menjelaskan, dari data Kementerian Kesehatan, TBC di Indonesia termasuk tinggi. Bahkan termasuk ranking teratas dari negara-negara lain.
"Kita termasuk rangking teratas di antara negara-negara dunia yang menjadi konsentrasi dari TBC. Pada 2019, diperkirakan ada 845 ribu kasus TBC atau 319 per 100 ribu penduduk. Dengan angka kematian 107 ribu, atau 40 per 100 ribu penduduk," ujarnya.
Dalam Peraturan Presiden soal Penanggulangan Tuberkulosis, disebut target Indonesia pada 2030. Diharapkan, angka kasus TBC bisa jauh menurun dibandingkan hari ini.
"Target eliminasi penyakit TBC pada 2030 dengan menurunkan angka insiden dengan 65 per 100 ribu penduduk, dari kondisi saat ini masih 312 per 100 ribu penduduk," kata Muhadjir.
Muhadjir minta lintas lembaga atasi stunting. Simak di halaman selanjutnya.
Muhadjir Minta Lintas Lembaga Atasi Stunting
Selain menyinggung soal TBC, Muhadjir membahas soal stunting. Menurut Muhadjir, masih ada daerah-darah yang menjadi perhatian pemerintah di kasus stunting.
"Stunting jadi tantangan, prediksi angka stunting 2020, data Litbang Kementerian Kesehatan, sebesar 26,92 persen. Dari 34 provinsi, ada 10 provinsi jumlah stunting tinggi. NTT, Sulawesi Barat, NTB, Aceh, Gorontalo, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah," kata Muhadjir.
"Selain itu, diketahui ada tiga provinsi yang diprediksi kenaikan angka stunting Sulawesi Barat 0,07, NTB 0,03, dan Bangka Belitung 1,01," ujarnya.
Muhadjir mengakui masalah stunting tidak bisa diatasi oleh satu lembaga, tapi mesti melibatkan berbagai pihak.
"Daerah-daerah jumlah kasus stunting tinggi, mohon perhatian dari semua pihak, baik pemerintah darah, pelaku kesehatan, swasta, serta ormas sosial, dan keagamaan, perguruan tinggi, mass media," katanya.