Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mengatakan mewujudkan undang-undang perlindungan hak masyarakat adat adalah pengakuan secara menyeluruh terhadap masyarakat adat sebagai bagian utuh dari kehidupan berbangsa.
Namun, kata dia, RUU Masyarakat Hukum Adat yang sejak September 2020 dibahas di Baleg dan disepakati untuk dilanjutkan ke Paripurna sebagai RUU usulan dari DPR hingga kini belum juga direalisasikan oleh Pimpinan DPR.
"Hingga kini masyarakat adat masih mengalami kesulitan dan keterbatasan dalam menjaga, mengelola dan mendapatkan wilayah adat mereka," ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu (15/9/2021).
Hal ini diungkapkan saat membuka diskusi secara daring bertema Masyarakat Adat Indonesia Belum Merdeka yang digelar Forum Diskusi Denpasar.
Dia menilai tumpang tindihnya permasalahan keseharian yang dihadapi masyarakat adat, semakin menunjukkan urgensi RUU Masyarakat Hukum Adat untuk segera menjadi undang-undang.
Dia pun berharap semua pihak termasuk para pimpinan di parlemen, bergerak bersama untuk mewujudkan undang-undang masyarakat adat, sebagai upaya negara mewujudkan perlindungan bagi setiap warga negara Indonesia.
Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI Arimbi Heroepoetri juga mengungkapkan konstitusi kita mengakui eksistensi masyarakat adat terutama pada Pasal 18 dan Pasal 28 UUD 1945. Amanat dalam konstitusi itu membutuhkan aturan turunan setingkat undang-undang yang mampu menerjemahkan mandat dari konstitusi tersebut.
"Saat ini masih ada istilah yang tumpang tindih terkait makna dari masyarakat adat itu sendiri. Selain itu, tidak ada lembaga negara yang secara khusus menangani masyarakat adat. Kewenangan terkait pengaturan masyarkat adat bahkan tersebar di 13 lembaga negara," ujarnya.
Menurut Arimbi, pengakuan perlindungan hak-hak masyarakat adat diharapkan tidak datang dari negara semata, tetapi juga dari lembaga non-negara, seperti korporasi lembaga swasta lainnya.
Senada, Deputi II Kantor Staf Presiden Abetnego Tarigan berpendapat banyak isu terkait masyarakat adat mencakup antara lain hak wilayah, spiritual, perempuan dan anak. Sejumlah isu tersebut, banyak berkaitan dengan kepastian sosial dan ekonomi dari para pihak yang bersengketa dengan masyarakat adat
"Saat ini pemerintah terus berupaya untuk memberi bantuan mengatasi berbagai masalah yang dihadapi masyarakat adat. Namun upaya-upaya yang dilakukan pemerintah itu hanya sebatas menghilangkan sumbatan-sumbatan di lapangan," ujarnya.
Menurut Abetnego, hingga saat ini Presiden tidak memberi arahan untuk tidak membahas RUU Masyarakat Hukum Adat. Sehingga dia berkesimpulan bahwa pemerintah mendukung pembahasan RUU Masyarakat Hukum Adat.
Wakil Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Adat Kunthi Tridewiyanti juga menegaskan pihaknya sangat berkepentingan agar RUU Masyarakat Hukum Adat segera disahkan sebagai undang-undang. Kehadiran undang-undang yang melindungi hak-hak masyarakat adat sangat penting, ujar Kunthi, karena ketidakadilan terhadap masyarakat adat terus terjadi dalam bentuk konflik horizontal dan vertikal.
"Diharapkan, kehadiran undang-undang masyarakat hukum adat menjadi payung hukum yang berkeadilan dan tidak justru mengukuhkan diskriminasi," tegasnya.
Sementar itu, Wakil Ketua Baleg DPR RI Willy Aditya mengungkapkan hambatan yang terjadi dalam proses pembahasan RUU Masyarakat Hukum Adat saat ini diduga disebabkan ada informasi yang disampaikan kepada presiden, bahwa UU Masyarakat Hukum Adat bertentangan dengan UU Cipta Kerja.
Dinamika politik dalam menghadirkan UU Masyarakat Hukum Adat, menurut Willy, memang tidak semudah kita melontarkan protes di jalan.
(akd/ega)