Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat menyampaikan upaya menghadirkan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (UU MHA) harus menjadi kepedulian semua pihak. Menurutnya, hal tersebut penting demi mewujudkan pemenuhan hak perlindungan menyeluruh masyarakat adat.
"Peringatan Hari Kemerdekaan di bulan Agustus ini sejatinya merupakan momentum pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak seluruh rakyat, termasuk masyarakat adat, menjadi paradoks dengan masih terhambatnya pembahasan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) hingga saat ini," kata Lestari dalam keterangannya, Kamis (7/8/2025).
Hal tersebut disampaikannya dalam sambutan tertulis pada diskusi daring bertema Meneguhkan Hak, Merawat Kearifan, Memperkuat Peran Masyarakat Adat di Indonesia, yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (6/8). Kegiatan ini digelar dalam rangka menyambut Hari Masyarakat Adat Internasional yang diperingati setiap 9 Agustus.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut, Lestari mengatakan Hari Masyarakat Adat Internasional yang dideklarasikan PBB pada 1994, bertujuan melindungi hak-hak masyarakat adat di seluruh dunia.
Di Indonesia, kata Lestari, peringatan ini seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat komitmen terhadap keberagaman, eksistensi, dan keadilan bagi masyarakat adat. Pasalnya, mereka telah berperan besar dalam perjuangan kemerdekaan dan pelestarian budaya.
"Namun di usia ke-80 kemerdekaan RI, RUU MHA yang diharapkan menjadi payung hukum perlindungan masyarakat adat justru belum juga disahkan," katanya.
Lestari menilai tanpa pengakuan hukum, masyarakat adat rentan terhadap perampasan hak dan marginalisasi. Padahal mereka yang menjaga kearifan lokal Indonesia.
Ia pun menegaskan meneguhkan hak, merawat kearifan lokal dan memperkuat peran masyarakat adat harus dimulai dari pengakuan keberadaan seluruh masyarakat adat sebagai bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Oleh karena itu, Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem ini pun mendorong agar RUU MHA segera disahkan. Hal ini mengingat masyarakat adat adalah bagian tak terpisahkan dari identitas bangsa.
Kondisi Masyarakat Adat di Indonesia
Pada kesempatan yang sama, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan Hak Asasi Manusia AMAN, Muhammad Arman mengungkapkan bila dilihat dari sisi kebudayaan terkait bahasa, saat ini ada 11 bahasa daerah yang punah. Hal ini terjadi akibat masyarakat adat semakin terpinggirkan.
Berdasarkan catatan UNESCO, di Papua saat ini setiap dua minggu ada satu bahasa ibu yang hilang. Selain itu, saat ini masyarakat adat beberapa daerah harus berhadapan dengan eskalasi pembangunan lahan yang luas untuk sumber pangan nasional.
Menurutnya, dalam konteks pembangunan di Indonesia, masyarakat adat belum dipandang sebagai bagian dari fondasi keberagaman pada bangsa ini.
"Padahal, bangunan Indonesia pada awalnya didasari atas keberagaman yang di dalamnya termasuk masyarakat adat," tegasnya.
Arman menilai rentannya kondisi masyarakat adat saat ini terjadi karena dasar hukum yang dibangun terkait masyarakat adat sangat diskriminatif.
Senada, Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yance Arizona mengatakan masyarakat adat sejatinya memiliki landasan filosofis. Sebab, pemerintahan Indonesia dibentuk untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, termasuk masyarakat adat.
"Secara yuridis, konstitusi UUD 1945 juga mengakui masyarakat adat pada sejumlah pasalnya," jelasnya.
Saat ini, tambah Yance, tumpang tindih sejumlah pengaturan terkait masyarakat adat mendorong sejumlah pihak untuk menghadirkan pengaturan yang lebih menyeluruh dalam satu undang-undang.
Yance menilai pembahasan RUU MHA yang merupakan usulan DPR itu saat ini cenderung ke arah politis dengan mempermasalahkan sejumlah terminologi, ketimbang mengedepankan aspek perlindungan masyarakat adat.
"Sejumlah upaya alternatif untuk menghadirkan undang-undang yang memberi perlindungan menyeluruh bagi masyarakat adat bisa dicoba, dengan mengedepankan imajinasi dan kreativitas dari para pemangku kepentingan," imbuhnya.
Sementara itu, Pendiri dan Dewan Pembina LBH APIK, Nur Amalia berpendapat kondisi yang dialami masyarakat adat saat ini menegaskan bahwa negeri ini memerlukan kehadiran UU MHA.
"Selain itu, penanganan masyarakat adat membutuhkan kelembagaan khusus sebagai bentuk afirmatif action," katanya.
Kehadiran lembaga khusus, jelas Nur Amalia, merupakan aspek krusial yang harus ada. Hal ini bertujuan untuk mengatasi beda perlakuan yang terjadi antara masyarakat adat dan masyarakat umum dalam mengakses hak-hak mereka.
Nur Amalia juga mengusulkan perlunya bab khusus terkait perlindungan serta pemenuhan hak perempuan dan anak adat yang dalam keseharian menghadapi multiple diskriminasi.
Sebagai informasi, diskusi tersebut dimoderatori Staf Khusus Wakil Ketua MPR RI, Dr. Usman Kansong. Hadir berbagai narasumber antara lain, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan Hak Asasi Manusia Aliansi Masyarakat Adat Nusantara/AMAN, Muhammad Arman, dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Dr. Yance Arizona, S.H., M.H., M.A. Hadir pula Pendiri dan Dewan Pembina LBH APIK, Nur Amalia sebagai penanggap.
(akd/akd)