Korban pelecehan seksual dan perundungan sesama pria pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melapor ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). LPSK pun bakal mengkaji jenis perlindungan yang bakal diberikan.
"Tadi korban sudah datang ke LPSK ajukan permohonan. Kami mau periksa kelengkapan syarat formil, ini berkaitan dengan identitas, status dia sebagai apa, sebagai korban atau apa, di antaranya itu," ujar Ketua LPSK Hasto Atmojo kepada wartawan, Rabu (8/9/2021).
Hasto mengatakan pihaknya akan melakukan asesmen syarat materiil. Pengecekan ini, salah satunya, terkait keterangan korban dan proses berjalannya kasus.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Nanti kemudian ada asesmen tentang syarat materiilnya, ini apakah memang yang bersangkutan mempunyai keterangan yang signifikan dalam proses misalnya gitu dan apakah kasusnya bisa berjalan," tuturnya.
Proses ini disebut akan berlangsung kurang-lebih selama satu minggu hingga akhirnya diputuskan dalam rapat paripurna. Namun, menurutnya, bila dalam waktu kurang dari seminggu korban mendapatkan ancaman, maka akan dilakukan perlindungan darurat.
"Kira-kira waktunya seminggu kami lakukan investigasi dan asesmen untuk melihat duduk perkara seperti apa dan asesmen kira-kira kebutuhannya kalau mau jadi terlindung apa, nanti akan diputuskan di rapat paripurna," kata Hasto.
"Tapi, kalau dalam seminggu ini ada ancaman yang signifikan, terutama mengancam jiwanya atau apa, ya kita akan melakukan perlindungan darurat tanpa menunggu keputusan dari paripurna dulu, biasanya gitu," sambungnya.
Nantinya, LPSK akan melihat jenis perlindungan yang diperlukan pelapor. Di antaranya, perlindungan fisik, pendampingan, dan bantuan rehabilitasi psikologi.
"Perlindungannya apa saja, apa perlindungan fisik seperti apa, apakah perlu pendampingan saja, apakah yang bersangkutan perlu bantuan rehabilitasi, misal psikologinya," ujarnya.
Hasto mengatakan pihaknya juga mengikuti proses hukum. Dia meminta kepolisian menyelesaikan kasus utama terlebih dahulu.
"Berkaitan gugatan balik, kita hanya bisa bersandar pada proses hukum. Mestinya aparat penegak hukum memproses kasus utamanya dulu, karena dalam UU Perlindungan Saksi itu seseorang tidak bisa dituntut secara pidana maupun perdata, saksi maupun korban. Jadi harus diproses dulu per kata utamanya," ujarnya.
Simak video 'Terlapor Pelecehan di KPI Pertimbangkan Lapor, Ini Respons Komnas HAM':
Awal Mula Kasus Mencuat
Kasus ini terungkap ketika korban bercerita kerap mendapatkan perundungan dan pelecehan seksual sesama pria dari rekan kerjanya yang juga pegawai KPI. Perlakuan itu dialami sejak 2012.
"Kejadian itu membuat saya trauma dan kehilangan kestabilan emosi. Kok bisa pelecehan jahat macam begini terjadi di KPI Pusat?" demikian keterangan tertulis korban, Kamis (1/9/2021).
Korban bercerita dia ditelanjangi dan difoto. Korban pun khawatir foto telanjangnya itu disebar oleh rekan-rekannya. Selain itu, rekan kerja korban kerap menyuruh-nyuruh korban membelikan makan. Hal ini berlangsung selama 2 tahun.
Tahun ke tahun berjalan, berbagai perundungan diterima korban. Dari diceburkan ke kolam renang, tasnya dibuang, hingga dimaki dengan kata-kata bermotif SARA.
Pelecehan seksual tersebut membuat korban jatuh sakit dan stres berkepanjangan. Pelecehan dan perundungan itu, kata korban, mengubah mentalnya.
Kasus ini juga sudah dilaporkan ke Komnas HAM. Komnas HAM sendiri, kata korban, sudah mengkategorikan pelecehan dan perundungan yang dialaminya sebagai bentuk pidana dan menyarankan agar korban melapor ke polisi. Saat ini polisi juga tengah mengusut kasus dugaan pelecehan tersebut.
Terlapor Berdalih Bercanda
Terlapor, EO dan RS, membantah tuduhan pelecehan seks dan perundungan sesama pria pegawai KPI. Terlapor berdalih perundungan terhadap korban cuma candaan saja.
"Itu hanya hal-hal yang sifatnya menurut lingkungan pergaulan mereka biasa sehari-hari. Nyolek-nyolek sesama laki-laki. Kebetulan pelapor ini kan berpakaian rapi selalu, bajunya dimasukin sering dicandain ditarik tiba-tiba bajunya. Kaya 'rapi amat lu', gitu-gitu aja," ujar pengacara RD dan EO, Tegar Putuhena, saat dihubungi, Senin (6/9).
(dwia/haf)