Sejak 15 Agustus lalu, kelompok Taliban berhasil menguasai Kabul, ibu kota Afghanistan, dan wilayah lainnya. Tapi pemerintah Afghanistan di bawah kendali Wakil Presiden Amrullah Saleh bersama tokoh anti Taliban, Ahmad Massoud sudah menyerukan untuk melakukan perlawanan. Jika tak dilakukan langkah-langkah istimewa, perang saudara niscaya sulit dihindari.
Hamid Awaludin yang pernah terlibat dalam proses negosiasi perundingan damai antara Afghanistan dan Taliban sejak 2017 menyarankan tiga kunci yang harus segera dilakukan Taliban. Pertama, sebagai 'pemenang' Taliban harus melakukan amnesti umum. "Kasih pengampunan, bebaskan semua tahanan politik," kata menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono - Jusuf Kalla itu dalam program Blak-blakan di detik.com, Senin (30/8/2021).
Kedua, Taliban harus memprakarsai rekonsiliasi nasional. Masing-masing pihak harus bersedia dan berkeinginan kuat melupakan masa lalu dan menatap masa depan bersama. "Jangan ada lagi 'kami' dan 'merek' tapi harus mengedepankan 'kita', kepentingan bersama yakni masa depan Afghanistan sebagai sebuah bangsa," kata Hamid Awaludin.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kedua prinsip kunci itu yang diterapkan saat pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka menandatangani nota perdamaian di Helsinki, Finlandia pada 15 Agustus 2005. Sejauh ini, kata Hamid, kedua prinsip itu telah disampaikan Taliban melalui juru bicaranya, termasuk di antaranya menghormati hak asasi manusia dan melindungi hak-hak perempuan. "Ini sebuah langkah maju yang tentu saja masih harus dibuktikan, apakah Taliban memenuhi janjinya," ujar Hamid.
Langkah ketiga, saat ini harus dianggap sebagai masa transisi dan Taliban harus segera menyiapkan pemilu. Hanya lewat pemilu yang jujur rakyat akan menentukan siapa yang akan punya legitimasi untuk memimpin pemerintahan. Sebab, walaupun Taliban mengklaim menguasai mayoritas wilayah tapi bukan berarti mendapat sokongan mayoritas rakyat Afghanistan.
"Elektabilitas itu yang menentukan jumlah penduduk yang menempati suatu wilayah, bukan menguasai jumlah wilayah. Jadi, pemilu yang akan menentukan siapa nanti yang legitimate untuk memerintah Afghanistan," kata Hamid yang pernah menjadi komisioner KPU.
Di sisi lain, langkah kelompok Taliban menguasai Kabul tak bisa disebut sebagai kudeta militer karena saat itu tidak ada kekerasan atau kontak senjata terjadi. Taliban menguasai Kabul karena pasukan Amerika pergi dan Presiden Afghanistan Ashraf Ghani di saat yang sama juga meminta suaka ke negara lain. "Ya, tapi ini debatable. Kita bisa berdebat terkait hal ini," ujarnya.
Kepergian Ashraf Ghani, dia menduga justru untuk menghindari pertumpahan darah. Bila Ghani bertahan di Kabul pasukan pemerintah dipastikan akan melindungi dan melakukan perlawanan balik terhadap Taliban sehingga terjadi perang terbuka.
Hamid menganalogikan sikap Ashraf Ghani itu seperti yang dilakukan
Bung Karno saat akan dijatuhkan oleh kelompok Orde Baru. Kala itu Bung menolak mengerahkan militer pendukungnya agar tidak terjadi pertumpahan darah.
"Dia bilang, saya mencintai bangsa ini dan tidak mau ada setetes darah pun tumpah, saya akan terima nasib saya. Nah, kira kira jalan pikiran ini yang ada di benaknya Ashraf Ghani," duga Hamid.
(ddg/jat)