Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas menjadi sorotan publik karena mengucapkan selamat hari raya Naw-Ruz 178 EB ke komunitas Baha'i. Koalisi Advokasi untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan pun turut buka suara.
Koalisi ini terdiri dari YLBHI, Paritas Institute, LBH Jakarta, Yayasan Inklusif, HRWG, CRCS UGM, Ulil Abshar Abdalla, dan Ahmad Suaedy. Adanya kontroversi perihal komunitas Baha'i, koalisi ini berharap pemerintah dapat melindungi dan memenuhi hak-hak kelompok minoritas sebagai warga negara yang sama.
"Saya sedikit optimis moderasi agama yang sedang digadang-gadang oleh Kementerian Agama semoga tidak jadi slogan kosong dengan munculnya pernyataan dari Kementerian Agama ini," kata peneliti dari Paritas Institute, Penrad Siagian, dalam konferensi virtual bertema 'Perlindungan dan Pengakuan Negara terhadap Agama dan Keyakinan', Jumat (30/7/2021).
Dia menilai Menag Yaqut tidak cukup hanya mengucapkan selamat. Tapi juga harus diteruskan kepada perlindungan, pelayanan publik terhadap berbagai kelompok agama, termasuk Baha'i yang selama ini mengalami diskriminasi.
"Sudah sangat banyak kasus yang muncul di tengah kehidupan bermasyarakat bagaimana problem sosial akibat adanya miskonsepsi atas keberadaan penganut agama dan kepercayaan ini," ucapnya.
Dia mendorong agar Kementerian Agama merevisi berbagai regulasi yang masih diskriminatif. Hal itu perlu dilakukan sebagai bagian dari kerangka pengakuan dan perlindungan terhadap berbagai kelompok yang selama ini mengalami diskriminasi.
"Kalau ini tidak dilakukan sudah banyak sekali kasus, sudah banyak sekali korban, regulasi-regulasi yang masih diskriminatif itu akan selalu menjadi amunisi, akan selalu menjadi landasan bagi kelompok intoleran untuk melakukan berbagai bentuk intoleransi bahkan kekerasan yang dialami kelompok ini," katanya.
Dosen dalam studi agama dan keyakinan, Zainal Abidin Bagir, menyebut bahwa ucapan Menag Yaqut ke komunitas Baha'i sebagai tanda bahwa pemerintah ada dan mengakui komunitas itu. Tapi, kata dia, yang lebih penting adalah pemenuhan hak-hak sebagai warga negara.
"Yang terpenting adalah pemenuhan hak-hak mereka dan isu ini tidak esklusif isu Baha'i. Di Indonesia ini ada banyak agama, ada banyak kepercayaan dan persoalannya mirip-mirip. Kalau orang-orang nggak bisa diakui dan sebagainya, nggak punya KTP, akhirnya hak-hak sipilnya tidak bisa terpenuhi," kata Zainal.
Sementara itu, Peneliti dari Wahid Foundation, Alamsyah Djafar, menilai kontroversi pernyataan Menag Yaqut menunjukan bahwa ada hal yang masih perlu disosialisasikan mengenai persepsi agama yang diakui. Menurutnya, dalam beberapa hal konsep agama yang diakui menimbulkan beberapa masalah.
"Masalah yang belum begitu jelas adalah mengenai agama di luar yang 6. Itu perlu dipikirkan ke depan dan kita tahu dari kontroversi perdebatan ini, itu menunjukkan bahwa sebagian masyarakat memerlukan informasi atau pengetahuan agama-agama dan keyakinan yang hidup di Indonesia," ucapnya.
Alam menyebut seharusnya negara menghormati dan menghargai keyakinan agama yang hidup dan tumbuh di Indonesia. Menurutnya, istilah agama yang diakui itu tidak ada dalam UU PNPS Tahun 1965.
"Tapi bagi sebagian masyarakat kemudian saya menangkap bahwa itu seolah-olah sebagai bentuk pengakuan agama, sehingga agama yang ada di Indonesia itu hanya 6. Sehingga kalai ada agama baru perlu diakui lagi," pungkasnya.
Simak juga video 'Sejarah Agama Baha'i di RI: Dilarang Soekarno Lalu Diizinkan Gus Dur':
(fas/fjp)