Ramai warga negara Indonesia (WNI) yang dikarantina mengaku diperas setelah pulang dari luar negeri. Dugaan pemerasan itu dilakukan melalui karantina, disebutkan mereka seakan-akan dipaksa untuk menjalani karantina di hotel mewah hingga karantina kedua atau 14 hari.
Keluhan-keluhan ini ramah dibahas di ranah publik hingga diberitakan sejumlah media. Akademisi Ade Armando ikut bersuara. Ia menduga ada kondisi main mata antara pemerintah dan hotel mewah agar seseorang WNI atau WNA yang baru pulang dari luar negeri dikarantina di hotel mewah.
Ade Armando mengatakan ada 'lembaga' bekerja sama dengan hotel-hotel dengan memanfaatkan kebijakan resmi pemerintah, yakni karantina. Diketahui, pemerintah Indonesia memiliki aturan soal karantina mandiri bagi orang yang baru datang dari luar negeri. Aturan itu adalah Surat Edaran Kasatgas Penanganan COVID-19 tentang Protokol Kesehatan Perjalanan Internasional Pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Lembaga-lembaga ini bersama hotel-hotel berbintang 5 dan 4 kompak pemanfaatan kebijakan resmi pemerintah untuk merampok mereka yang dianggap punya banyak cuan," ucap Ade Armando dalam akun YouTube CokroTV, seperti dilihat detikcom, Kamis (14/7).
Menurut Ade Armando, mereka seakan-akan dipaksa untuk menjalani karantina di hotel mewah hingga karantina kedua atau 14 hari. Biaya yang dikeluarkan pun tidak sedikit, bisa sampai puluhan juta rupiah.
"Pekan lalu, saya mengutip kisah yang beredar di grup WhatsApp tentang orang-orang yang dipaksa dikarantina dan diisolasi di hotel mahal dengan alasan terbukti terkena COVID-19. Inti masalah, mereka tidak punya pilihan, hotel sudah ditetapkan, dan mereka tidak bisa meminta melakukan tes ulang PCR secara mandiri," kata Ade Armando.
Selain itu, Ade mengatakan warga yang dikarantina tidak boleh melakukan PCR mandiri di luar tempat karantina. Beberapa orang dinyatakan positif di PCR yang diadakan di hotel, padahal mereka merasa sehat dan yakin negatif virus Corona. Ade menceritakan pengalaman seorang kawan soal proses karantina mandiri di hotel.
"Suami kawannya dinyatakan positif COVID-19 di saat pemeriksaan di masa karantina. Untungnya, pria itu tidak mau begitu saja menerima ultimatum tersebut. Dia meminta melakukan tes mandiri. Tapi ketika petugas menolak, dia mengancam akan bicara ke media. Akhirnya terhadap dirinya langsung dilakukan tes ulang. Dalam tes kedua ini, ia dinyatakan tidak terindikasi terkena COVID-19," ungkap Ade.
Ade Armando pun mempermasalahkan hotel-hotel yang dijadikan lokasi karantina mandiri. Hampir semua hotel tersebut adalah hotel bintang lima dan bintang empat. Dia mencontohkan, karantina bagi orang yang baru pulang di luar negeri di Belanda. Menurutnya, pemerintah Belanda memperbolehkan mereka karantina mandiri di rumah masing-masing.
"Jadi kewajiban yang diterapkan di Indonesia sangat patut dicurigai, apalagi hotel-hotel yang ditetapkan pun mayoritas adalah hotel mahal. Saya memperoleh daftar hotel karantina yang dikeluarkan Perhimpunan Hotel dan Restoran. Ada 26 hotel terdaftar, di hotel bintang limanya ada 11 hotel, bintang empat ada 11, dan hanya empat hotel berbintang 3," kata Ade.
Dia lalu menyebut beberapa lembaga pemerintah yang diduga terlibat dalam kasus ini. Dia menyebut lembaga itu sengaja menjerumuskan orang agar isolasi mandiri di hotel mewah hingga 19 hari.
"Apa yang terjadi ini adalah kejahatan terorganisir. Sayangnya, yang terlibat adalah lembaga pemerintahan, seperti BNPB, Satgas Penanganan COVID-19, atau mungkin juga Kementerian Luar Negeri, dan pengelola hotel-hotel mewah," kata Ade Armando.
Tanggapan Kemlu dan Kepala Bandara
Kementerian Luar Negeri mengaku tidak tahu-menahu soal adanya kasus tersebut. Menurutnya, soal karantina mandiri di hotel mewah bukanlah kewenangan dari dirinya.
Juru bicara Kemlu Teuku Faizasyah menyebut Kementerian Luar Negeri hanya bertugas mensosialisasikan aturan soal karantina kepada perwakilan RI di luar negeri ataupun perwakilan negara asing atau organisasi internasional.
"Dalam penerapan protokol kesehatan bagi pelaku perjalanan luar negeri baik WNI maupun WNA, sesuai Surat Edaran Satgas Penanganan COVID-19 No 8 Tahun 2021 beserta adendumnya, Kemlu bertugas mengkomunikasikan peraturan ini, baik kepada perwakilan RI di luar negeri maupun kepada kedutaan asing dan organisasi internasional yang terakreditasi di Indonesia. Kemlu bukan otoritas yang memiliki kewenangan dalam penunjukan hotel karantina dan pelaksanaan tes PCR," kata Faizasyah.
Sementara itu, KKP Kelas I Bandara Soekarno-Hatta menyampaikan mereka bukanlah yang melakukan tindakan itu. "Bukan di kami," jawab kepala KKP Kelas I Bandara Soetta Darmawali Handoko saat dihubungi.
BNPB Membantah
BNPB lalu buka suara lewat penjelasan Kapusdatinkom BNPB Ahmad Muhari. Dia secara khusus meluruskan pemberitaan di media soal karantina warga dari luar negeri di hotel ini.
"Ada 3 poin yang perlu saya jelaskan, pertama ada penekanan dimana dalam pemberitaan petugas BNPB melakukan PCR tes di hotel-hotel karantina, kedua petugas BNPB tidak mengizinkan WNA-WNI yang sedang karantina untuk mendapatkan tes pembanding, ketiga petugas BNPB menawarkan ambulans berbayar. Ini hal-hal yg kita luruskan terlebih dahulu sebelum opini berkembang ke mana-mana," ujar Muhari dalam diskusi daring BNPB, Jumat (16/7).
Muhari menjelaskan, pelaksanaan karantina warga dari luar negeri itu sudah diatur dalam surat edaran Satgas COVID-19 di mana masa karantina warga dari luar negeri itu yang semulanya 5 hari menjadi 8 hari. Muhari mengatakan sikap BNPB di sini hanya sebagai pembuat aturan bukan pelaksanaan di lapangan.
"Di sini saya tegaskan implementasi di lapangan, seperti pengambilan swab PCR, ambulans, dan pengawasan atau tidak izinkan WNA WNI untuk tes pembanding bukan dari BNPB. Perlu kita sampaikan, pelaksanaan penanganan WNA WNI yang masuk dari pintu-pintu kita, baik dari bandara maupun pelabuhan laut ditangani oleh kantor kesehatan pelabuhan di bawah koordinasi surveillance dan karantina Kemenkes yang pengawasannya dibantu TNI-Polri," jelas Muhari.
Muhar menegaskan tidak benar bila ada yang menyebut petugas BNPB melakukan tes PCR kepada warga yang dikarantina. Di sisi lain, menyangkut isu tersebut, Muhari mengatakan BNPB sedang memanggil pihak hotel untuk mengklarifikasi.
"BNPB saat ini sedang memanggil pihak manajemen dari 2 hotel yang disebutkan dalam liputan tersebut untuk mengklarifikasi, karena disebut di situ petugas hotel dan BNPB, jika benar ada BNPB di situ tentu saja secara internal kita akan lakukan investigasi, dari mana, dari unit eselon berapa, dan kita tentu akan lakukan sanksi-sanksi sesuai hukum, tetapi jika bukan petugas BNPB kita akan meminta manajemen hotel mengklarifikasi ini hitam di atas putih," tuturnya.
Warga dari LN Berhak Dapat Tes Pembanding
Lebih lanjut Muhari juga menegaskan warga dari luar negeri yang dikarantina berhak mendapatkan tes pembanding. Adapun tes pembanding itu harus dilakukan di 3 laboratorium yang telah ditunjuk pemerintah.
"Dari surat Kasatgas B84A setiap WNI dan WNA yang karantina memiliki hak untuk dapatkan tes pembanding di 3 lab yang sudah kita rekomendasikan lab RSPAD, RS Polri, yang ketiga RS Cipto Mangunkusumo. Jadi kami harapkan dengan klarifikasi ini tidak ada lagi pemberitaan yang menyebutkan tidak boleh WNA WNI karantina dilarang mendapatkan tes pembanding. Itu hak dari mereka dan itu kita jamin," tegasnya.
Sementara itu, koordinator karantina kesehatan Kemenkes, Imran Prambudi menjelaskan lab yang dipilih itu artinya sudah tersertifikasi oleh pemerintah. Dia memastikan lab yang ditunjuk pemerintah sudah sesuai dengan standar protokol kesehatan COVID-19.
"Jadi lab tersebut sudah tersertifikasi oleh kementerian kesehatan terakhir ada 700 lab yang sudah tersertifikasi. Lab yang kerja sama dengan kami di Jakarta itu semua lab-lab yang sudah masuk di dalam case study. Jadi artinya prokes sudah terjaga, SOP sudah benar," jelas Imran.
Tentang tes pembanding, Imran menjelaskan tes pembanding adalah jika seseorang tes Corona di hari yang sama dengan laboratorium berbeda. Jika hasil tes pembanding dari lab satu dan lainnya berbeda, itu bisa terjadi karena beberapa faktor. Jika seseorang melakukan tes pada hari berikutnya, itu bukan tes pembanding, tetapi tes ulang.
"Untuk melakukan tes pembanding sampel yang sama, diambil saat bersamaan tetapi diperiksa ke laboratorium berbeda, artinya umpamanya sekarang Jumat, kemudian Sabtu malam keluar hasil, terus mau di-swab lagi Minggu itu adalah swab ulang bukan pembanding. Karena pemeriksaan Jumat dengan Minggu bisa berbeda, karena variasi bisa macam-macam," ungkap Imran.
Imran juga menegaskan, dalam tes pembanding itu, bisa saja hasilnya berbeda. Sebab, ada beberapa faktor yang bisa mempengaruhi hasil berbeda.
"Seberapa besar terjadi perbedaan, saya kira kalau kami berpegang ahli, itu sangat mungkin, pertama alatnya beda, mereknya PCR beda-beda, reagen berbeda juga, belum lagi saat orangnya ambil swab kurang dalam, atau terlalu dalam juga akan dapat hasil beda, jadi kemungkinannya pasti ada cuma seberapa besar saya belum tahu," pungkas Imran.
Simak Video "Bocoran Harga-Fasilitas Karantina di Hotel Sepulang dari LN"
[Gambas:Video 20detik]
(zap/jbr)