Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mengungkap 43,9% orang tua setuju dengan pembelajaran tatap muka (PTM) pada Juli saat ini di tengah lonjakan virus Corona (COVID-19). P2G menyebut tingginya animo para orang tua ini karena merasa anaknya sudah jenuh belajar di rumah.
Survei ini dilakukan selama 3 hari dari 5-8 Juli dengan teknik sample random sampling. Ada 8.287 orang tua siswa di 34 provinsi. Orang tua diwawancarai menggunakan teknik kuesioner Google Form yang disebarkan di aplikasi perpesanan.
"Mengenai persetujuan orang tua terhadap dimulainya PTM, tahun ajaran baru Juli 2021, yang setuju dimulainya PTM bulan Juli itu 43,9% hampir setengahnya, 33,2% ragu-ragu, lalu 23,9% tidak setuju," kata Kabid Advokasi P2G Iman Zanatul Haeri dalam konferensi virtual, Minggu (11/7/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Iman melihat persentase survei itu menunjukkan mayoritas orang tua setuju dimulainya PTM pada Juli. Padahal, kata Iman, angka ini sangat kontras saat kasus COVID-19 yang menjangkiti anak-anak justru melonjak tajam pada akhir-akhir ini.
"Catatan dari kami memang mayoritas orang tua secara tidak langsung setuju terhadap mulainya PTM pada bulai Juli 2021, padahal kita tahu sendiri COVID-19 semakin meningkat tadi sudah disebutkan bahwa banyak pasien COVID anak-anak yang terinfeksi COVID ini di Indonesia termasuk yang paling banyak," ungkapnya.
Iman menjelaskan, para orang tua yang setuju ini dilatarbelakangi karena sang anak telah jenuh dan bosan berada di rumah. Kemudian, para orang tua juga mengeluh karena anaknya lebih sering main game di rumah dibanding belajar.
"Yang setuju ini kan berjumlah 43,9%, apa alasan mereka 41% hampir setengahnya karena anak bosan, 24,7% itu karena anaknya main game terus di rumah, 21,2% karena sinyal internet yang susah di daerahnya di lokasi tersebut, lalu 9,3% itu karena orang tua tidak memiliki kompetensi pengajaran di rumah gitu karena tidak semuanya ada yang menjawab seperti itu, dan yang lainnya menjawab lain," tuturnya.
Selanjutnya, persentase ortu yang ragu-ragu.
Simak video 'PTM Terbatas Tetap Dilaksanakan, Bagaimana Mekanismenya?':
P2G juga mengumpulkan persentase orang tua yang ragu-ragu dan tidak setuju untuk pembelajaran tatap muka dengan total 56,1 persen. Iman menerangkan orang tua yang tidak setuju pembelajaran tatap muka ini tidak lain karena memang mereka menyadari angka virus Corona ini sedang melonjak tajam di Tanah Air.
"Sekarang kita survei orang tua yang ragu-ragu ataupun tidak setuju, kalau digabung yang ragu-ragu tidak setuju itu 56,1%, tertinggi mereka itu tidak setuju karena kasus COVID semakin meningkat saya kira ini angka yang rasional ya sekitar 74,9%, tapi ini respondennya memiliki lebih dari satu jawaban jadi tidak keseluruhannya 100%," tuturnya.
Baca juga: Menunda Asa Pembelajaran Tatap Muka |
Selain itu, P2G melihat 21,4% orang tua tidak setuju dan ragu-ragu pembelajaran tatap muka karena anaknya belum sepenuhnya divaksinasi. Para orang tua tidak mau mengambil risiko, apalagi wilayahnya masuk zona merah penyebaran virus Corona.
"21,4% menjawab bahwa siswa belum tuntas divaksin, vaksinasi, jadi kalau siswanya belum tuntas mereka tidak tidak mau gitu dengan PTM, 17,1% karena sekolahnya itu berada di zona merah lalu 7 persen karena sekolahnya belum memenuhi fasilitas pendukung protokol kesehatan, lalu sebagian kecil di antaranya 2,7% karena merasa bahwa gurunya belum tuntas divaksin," katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Koordinator Nasional P2G Satriwan Salim menerangkan P2G kemudian merekomendasikan beberapa hal terutama kepada pemerintah terkait hasil survei ini. Berikut rekomendasinya:
1. Perlu sosialisasi dan edukasi manfaat vaksinasi anak terhadap orang tua, yang dapat dilakukan oleh: Kemenkes, Kemendikbudristek, Kemenag, Pemda, sekolah, wali kelas, dan media massa. Wajib menggandeng organisasi Komite Sekolah atau Persatuan Orang Tua Murid dan Guru (POMG). Sosialisasi berisi informasi tentang: bagaimana prosedur/teknis vaksinasi siswa, syaratnya, bagaimana cara pendaftarannya, dimana tempat vaksinasi, dan lainnya. Informasi tersebut harus disampaikan kepada orang tua secara jelas dan komprehensif.
2. Meminta sekolah-sekolah proaktif berkoordinasi dengan lembaga terkait seperti Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan untuk penjadwalan vaksinasi siswa. Sekolah dapat juga berinisiatif membangun kerja sama dengan organisasi Ikatan Alumni/Organisasi sosial masyarakat/BUMN/pihak swasta, menyelenggarakan vaksinasi gratis bagi anak secara mandiri. Inisiatif vaksinasi mandiri oleh sekolah dapat menjadi solusi sederhana. Tentu tetap dalam pengawasan Pemda. Contoh: Beberapa sekolah swasta dan negeri di DKI Jakarta melakukan kerjasama inisiasi bersama dengan organisasi alumni, organisasi masyarakat, dan BUMN.
3. Sekolah yang menggelar PTM Terbatas dapat melibatkan siswanya untuk hadir di sekolah dengan syarat sudah divaksinasi. Bagi siswa (orang tua) yang menolak vaksinasi, sementara akses mendapatkan vaksin sudah bisa diperoleh dan/atau sekolah sudah menyelenggarakan proses vaksinasi, maka siswa disarankan mengikuti pembelajaran dengan moda daring (PJJ) sebagai konsekuensi.
4. Bagi P2G, minimal ada 4 indikator mutlak sekolah bisa dimulai tatap muka, yaitu: a) tuntasnya vaksinasi guru, tenaga kependidikan, dan siswa; b) sekolah sudah memenuhi semua Daftar Periksa kesiapan sekolah tatap muka, yang berisi 11 item yang dilanjutkan oleh asesmen kelayakan oleh Pemda; c) pemetaan Pemda terkait sebaran Covid-19 di daerahnya, termasuk angka positivity rate harus di bawah 5% sesuai rekomendasi WHO, dan; d) izin dari orang tua siswa yang bersifat personal (bukan perwakilan organisasi Komite Sekolah).
5. Bagi daerah yang berada di zona hijau dan memiliki banyak kendala PJJ Online (akses internet, listrik, kepemilikan gawai, dll) maka direkomendasikan melaksanakan PTM Terbatas, dengan memenuhi syarat sesuai Buku Panduan pembelajaran tatap muka yang dibuat Kemendikbudristek dan Kemenag.
6. Kemendikbudristek, Kemenag, Kemenkes, dan Pemda mesti melakukan pemetaan, guru di sekolah dan daerah mana saja yang belum divaksinasi, yang belum vaksinasi tahap 1 atau tahap 2, maupun yang sudah. Melalui pemetaan ini, Pemerintah tidak gegabah meminta sekolah dibuka. Sebab risikonya adalah keselamatan dan kesehatan warga satuan pendidikan dan keluarga mereka. Jika guru, tendik, dan siswa belum divaksinasi jangan coba-coba berani membuka sekolah.
7. Wajib bagi sekolah yang sudah siap PTM terbatas, melaksanakan dan mematuhi Prokes mulai dari datangnya siswa sampai pulang, sekolah mesti membuat SOP. Jangan sampai ada pelanggaran, maka perlu dilakukan pengawasan dan evaluasi dari satgas COVID daerah. Sebab selama uji coba PTM sejak Januari - Juni 2021 lalu, P2G menemukan fakta banyak pelanggaran prokes hampir di tiap daerah di Aceh, Kepri, Padang, Bukittinggi, Padang Panjang, Berau, Tanjung Pinang, Kota Batam, Kabupaten Bogor, Kota Bekasi, Kabupaten Blitar, Kabupaten Situbondo, Kabupaten Bima, dan lainnya.
8. Perlu ada komitmen dan teladan dari guru terkait 5M. Sekolah juga mesti membuat perencanaan pembelajaran yang efektif dan tetap bermakna meskipun dalam aturan hanya dibolehkan 2 jam sehari dan 2 hari seminggu. Tentu skema pembelajaran seperti ini berpotensi tidak maksimal. Maka penting agar sekolah membuat daftar pelajaran yang esensial untuk dibuat tatap muka 2 jam. Untuk SMK misalnya lebih dipakai untuk praktik keterampilan di bengkel, bukan materi kognitif. Untuk SMP dan SMA tatap muka diberikan bagi pelajaran yang dinilai sulit oleh siswa.
9. P2G Mendorong Kemendikbudristek, Kemenag, dan Pemda serta K/L lainnya mempercepat penyediaan infrastruktur pendukung pembelajaran "Blended Learning" (pembelajaran campuran) yang sangat bergantung kepada perangkat digital, sinyal internet, dan keterampilan guru.
10. P2G Meminta Kemendikbudristek menunda implementasi Kurikulum Baru Sekolah Penggerak di 2.500 sekolah seluruh Indonesia yang akan diimplementasikan mulai 12 Juli 2021.
(dnu/dnu)