Pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau pembelajaran dari rumah yang sudah sembilan bulan dilakukan dianggap banyak memiliki ketidakidealan dan kelemahan. Selain itu, kekhawatiran akan dampak terhadap psikosial dan kualitas pendidikan yang menurun menjadi sebab musabab munculnya Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri mengenai rencana pembelajaran tatap muka.
Keputusan tersebut tampaknya membawa angin segar bagi dunia pendidikan, khususnya bagi guru dan siswa. Setidaknya dari beberapa survei nasional, semisal yang dilakukan oleh Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) pada 23-27 November 2020 yang menyebutkan 61% guru setuju pembukaan sekolah secara bertahap mulai Januari 2021.
Namun, apakah hal tersebut saat ini menjadi prioritas utama untuk memperbaiki ketidakidealan serta kelemahan yang disebutkan oleh Nadiem Makarim? Tentu jika menengok kondisi kekinian, tampaknya hal tersebut dapat menjadi dua sisi yang kontradiktif sekaligus kontraproduktif.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di tengah angka positivity rate harian Covid-19 Indonesia yang sangat tinggi yaitu di atas 20%, masih jauh dari standar World Health Organization (WHO) yaitu 5%. Belum lagi adanya libur Natal dan Tahun Baru serta libur sekolah dapat menjadi potensi kenaikan angka kasus Covid-19 di Indonesia, yang juga berpotensi memunculkan banyak klaster, diantaranya klaster keluarga yang memang saat ini tinggi.
Awal Desember kita dibuat kaget dengan terjadinya beberapa kasus penularan Covid-19 di sekolah. Ratusan siswa di Jawa Tengah yang terpapar Covid-19, yang ternyata terpapar dari gurunya. Atau terpaparnya puluhan guru dan karyawan salah satu MAN di Jakarta setelah melakukan kegiatan di Yogyakarta merupakan peringatan bagi rencana pelaksanaan pembelajaran tatap muka di Januari 2021.
Mengapa demikian? Persyaratan yang disampaikan oleh hasil SKB 4 Menteri memang tidak otomatis mengizinkan seluruh sekolah membuka pembelajaran tatap muka, tetapi harus mendapatkan perizinan dari Pemerintah Daerah, kesiapan sekolah, dan yang terutama yaitu perizinan dari orangtua siswa.
Namun, yang jadi perhatian yaitu kesiapan setia satuan pendidikan atau sekolah. Sangat dibutuhkan dana yang besar untuk menyiapkan segala kebutuhan Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) di lingkungan sekolah. Selain internalisasi kebiasaan baru kepada seluruh sivitas sekolah, sekolah harus menyiapkan sarana dan prasarana yang memadai. Sarana sanitasi dan kebersihan seperti toilet bersih dan layak, sarana cuci tangan, hand sanitizer, dan secara rutin melakukan penyemprotan disinfektan merupakan hal yang wajib disiapkan. Belum lagi sekolah juga harus menyiapkan ruang kelas yang memiliki sirkulasi udara baik serta tempat duduk yang berjarak.
Persiapan Minim Sekolah
Dengan segala regulasi persyaratan yang telah ditetapkan oleh SKB 4 Menteri beberapa waktu lalu, tampaknya persiapan sekolah masih tergolong minim. Mengapa demikian? Jika sesuai kalender akademik, maka kurang dari dua minggu lagi pembelajaran tatap muka dimulai. Beberapa daerah sebelumnya sudah menyatakan bahwa sekolah akan dibuka, seperti Provinsi Jawa Barat, Provinsi Banten, Kota Batam, Kota Depok, dan wilayah lainnya.
Namun, tidak sedikit dari daerah-daerah kemudian membatalkan rencananya tersebut karena melihat perkembangan kasus Covid-19 yang semakin tinggi di wilayahnya. DKI Jakarta saja saat ini masih mengkaji rencana membuka sekolah. Lantas muncul pertanyaan, apakah dengan waktu yang cukup singkat, sekolah dapat menyiapkan segala daftar persyaratan dari sarana serta prasarana pembelajaran tatap muka?
Meskipun pada faktanya di lapangan, banyak sekolah di daerah yang sebenarnya sudah melakukan pembelajaran tatap muka. Selain karena banyak mengalami kendala dalam pembelajaran jarak jauh, tidak dapat dipungkiri adanya euforia tinggi merupakan alasan yang juga muncul. Padahal untuk melakukan pembelajaran tatap muka tanpa diiringi dengan kesiapan serius, maka akan menjadi blunder bagi institusi pendidikan. Terlebih jika merasa daerah tersebut merupakan zona hijau, namun jangan sampai luput bahwa bukan berarti nihil kasus.
Verifikasi data sekolah mana yang sudah layak dan sesuai dengan protokol kesehatan harus dilakukan secara matang dan berdasarkan fakta di lapangan. Pengecekan sekolah yang layak menyelenggarakan pembelajaran tatap muka tidak dapat sebatas formalitas, tidak boleh hanya berdasarkan laporan Kepala Sekolah kepada Dinas Pendidikan di masing-masing wilayah. Seluruh elemen wajib melakukan verifikasi lapangan di setiap satuan pendidikan.
Tingginya Faktor Resiko
Pelaksanaan Pilkada beberapa waktu lalu, adanya kerumunan massa yang tidak sesuai dengan protokol kesehatan, ditambah dengan adanya liburan sekolah, Natal, dan Tahun Baru memunculkan kekhawatiran yang tinggi.
Kesiapan lingkungan sekolah dalam pelaksanaan pembelajaran tatap muka tidak hanya berbicara mengenai kondisi kesehatan siswa, tetapi juga harus melihat kondisi kesehatan serta mobilitas orangtua siswa. Belum lagi dengan mobilitas guru dan karyawan, tentu akan menjadi tinggi faktor resiko jika beberapa sisi tersebut diabaikan oleh pemerintah.
Dengan adanya mobilitas luas dan tinggi para sivitas sekolah tersebut tentu akan menjadi berisiko dalam pelaksanaan pembelajaran tatap muka. Siapapun yang berada di dalam lingkungan sekolah bisa saja menularkan atau tertular tanpa mengalami gejala tertentu.
Jika demikian sudah terjadi, maka akan sangat mengabaikan kesehatan dari seluruh sivitas dari institusi pendidikan. Tentu hal ini juga akan bertolak belakang dengan pesan Presiden Joko Widodo dalam berbagai kesempatan, yaitu utamakan kesehatan.
Dengan adanya rencana pembelajaran tatap muka tersebut, tidak hanya dikhawatirkan terjadinya penularan di klaster sekolah saja. Namun juga, menimbulkan beban moril bagi guru dan sekolah yang bisa saja menjadi korban kebijakan pembukaan sekolah tersebut jika benar terjadi kasus transmisi di lingkungan sekolah. Meski sudah ada prosedur kesehatan dan perizinan dari orangtua, guru dan sekolah tetap dapat disalahkan karena gagal dalam melaksanakan protokol kesehatan. Padahal kita sama-sama tahu bahwa setiap orang saat ini menjadi beresiko terpapar Covid-19.
Baca juga: Ancaman Kemunduran Pendidikan di Perdesaan |
Keberanian Pemerintah Daerah
Di tengah kegamangan pelaksanaan pembelajaran tatap muka yang disebabkan pertimbangan mendalam pemangku kebijakan, sudah semestinya saat ini setiap Pemerintah Daerah bersikap tegas. Terlebih Pemerintah Daerah yang saat ini masih belum menentukan sikap apakah sekolah dibuka Januari 2021 atau tidak.
Mengapa demikian? Jika kebijakan sekolah kembali dibuka baru disampaikan beberapa saat ke depan, rasanya sangat terlambat. Kesiapan sarana dan prasarana di sekolah membutuhkan waktu dan biaya besar. Terlebih internalisasi nilai kepada seluruh sivitas sekolah tentu juga membutuhkan waktu panjang. Tidak bisa seluruh sivitas di institusi pendidikan baru diberikan pemahaman terkait AKB saat pembelajaran tatap muka berlangsung. Hal ini tentu akan merugikan dari ketercapaian kurikulum yang ditetapkan sekolah itu sendiri.
Belum lagi saat dapat dipastikan terjadinya mobilitas tinggi baik yang dilakukan oleh siswa dengan keluarganya, atau guru serta karyawan dalam libur sekolah, Natal, serta Tahun Baru. Adakah yang dapat menjamin bahwa tidak ada yang terpapar saat melakukan liburan tersebut?
Maka sudah sepatutnya Pemerintah Daerah harus berani memutuskan saat ini untuk menunda pelaksanaan pembelajaran tatap muka, jika memang di wilayahnya memiliki faktor resiko tinggi penularan Covid-19. Jangan sampai jika pembelajaran tatap muka digelar oleh sekolah, sekolah dan guru yang menjadi kambing hitam atas abainya pelaksanaan protokol kesehatan.
Namun, jika pemerintah tetap bersikukuh melaksanakan pembelajaran tatap muka, maka Pemerintah Daerah dengan segala otoritasnya wajib melakukan pemeriksaan swab test kepada seluruh sivitas sekolah. Dengan adanya hal tersebut, setidaknya dapat meminimalisir segala potensi penularan Covid-19 di lingkungan satuan pendidikan.
Meskipun segala persyaratan dari disampaikan melalui SKB 4 Menteri telah terpenuhi secara tertulis, dan adanya komitmen dengan orangtua siswa tidak dapat menjamin keselamatan kesehatan siapapun sivitas sekolah.
Dibutuhkan kesadaran tinggi dari berbagai elemen, khususnya pihak sekolah yang di dalamnya terdapat guru dan karyawan dan juga siswa serat orangtua siswa. Kesadaran yang harus dibangun yaitu adalah meminimalisir mobilitas jika pembelajaran tatap muka dilaksanakan pada Januari 2021 mendatang. Dengan menunda liburan ke tempat wisata yang ramai pengunjung, dan tetap menerapkan protokol kesehatan dapat menjadi angin segar jika rencana pembelajaran tatap muka akan tetap digelar.
Namun, jika kesadaran tersebut diabaikan, maka menunda asa pembelajaran tatap muka dapat menjadi keharusan yang harus ditempuh. Sebab dalam kondisi demikian, pihak manapun tidak bisa memaksakan agar pembelajaran tatap muka tetap dilaksanakan. Toh saat ini pembelajaran dengan blended learning juga dapat menjadi alternatif sebagai jembatan agar kualitas pendidikan tidak terjun bebas.
Rencana pembelajaran tatap muka akan menjadi blunder besar bagi Pemerintah Daerah yang tetap memberanikan diri tanpa melihat kondisi kasus harian di wilayahnya. Dan juga akan menjadi boomerang jika setiap prosedur persyaratan yang ditetapkan SKB 4 Menteri dijadikan persyaratan formalitas tanpa memverifikasi betul kesiapan seluruh sekolah yang akan membuka pembelajaran tatap muka Januari 2021.
Jangan sampai rencana pembukaan sekolah justru membahayakan batin dan keselamatan hidup seluruh sivitas pendidikan di sekolah, sama seperti yang diuatarakan oleh Ki Hajar Dewantara "pendidikan dan pengajaran di dalam Republik Indonesia harus berdasarkan kebudayaan dan kemasyarakatan bangsa Indonesia, menuju ke arah kebahagiaan batin serta keselamatan hidup lahir".
Trezadigaya, S.Pd.,M.Si
Guru, Alumni Kajian Ketahanan Nasional, Anggota P2G.