Dia kemudian mencontohkan saat dirinya ditanya perihal PKI dan Komunisme. Fungsional Monitoring KPK itu mengaku menjawab sesuai yang dia pahami dan alami.
"Saya katakan, sesuai apa yang saya pahami dan alami, bahwa pendirian PKI sekarang ini tak perlu lagi ditakuti, karena PKI sebagai sebuah entitas partai sudah mempunyai citra yang relatif buruk di mata masyarakat. Karena itu, menurut saya, jika PKI ikut pemilu di era milenium saat ini, sulit kiranya bagi PKI mendapatkan suara pemilih. Walaupun, menurut saya, simpati kepada para korban 1965 dan anak cucunya kemudian tetap harus tersimpan di hati kita semua," papar Faisal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Yang sekarang harus dilakukan, bagi saya, adalah mengedepankan atau menampilkan paham-paham atau isme-isme alternatif untuk berkompetisi dengan Komunisme, meskipun ada pula yang mengatakan bahwa paham komunis sudah tua renta dan tak lagi mempunyai kekuatan magis," lanjutnya.
TWK Seharusnya Berbeda dengan Tes CPNS
Lebih lanjut, menurut Faisal, mekanisme asesmen TWK seharusnya berbeda dengan tes Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Sebab, tes CPNS ditujukan kepada orang yang memang sejak awal berniat menjadi PNS, sehingga soal-soal ujiannya bersifat salah-benar dan harus menjawab sesuai apa yang menjadi ketentuan atau kebijakan pemerintah.
Hal itu, lanjutnya, berbeda dengan tes alih status pegawai KPK menjadi ASN. Faisal menjelaskan, pegawai KPK menjadi ASN atas amanat UU, bukan karena sejak awal berniat menjadi ASN. Oleh sebab itu, menurutnya, pola tes TWK yang diikutinya tidaklah tepat.
"Nah, Asesmen TWK untuk kebutuhan alih status pegawai KPK menjadi pegawai PNS seyogianya bukanlah semacam CPNS atau interogasi. Ada dua alasan. Satu, sejak awal pada Pasal 1 angka 6 Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK menyatakan bahwa 'Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi adalah aparatur sipil negara sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai aparatur sipil negara.' Jadi, yang meminta menjadi ASN bukanlah pegawai KPK, tapi amanat UU, dimana hal ini adalah sebuah proses Asesmen Alih Status bukan Tes CPNS sebagaimana diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN. Dua, rata-rata pengalaman kerja pegawai KPK adalah 5 (lima) sampai 10 tahun, bahkan lebih, dimana mereka sudah bergumul dengan pelbagai macam orang, budaya, maupun pemikiran, sehingga pola tes CPNS atau interogasi, seperti yang saya alami saat wawancara TWK, tidaklah tepat," tutur Faisal.
TWK untuk Singkirkan Pegawai Kritis
Karena itu, Faisal pun yakin TWK bertujuan menyingkirkan pegawai KPK yang kritis dan berani. Padahal, menurut dia, institusi antikorupsi seperti KPK membutuhkan karakter pegawai yang kritis dan berani.
"Dari situ saya yakin, Asesmen TWK bertujuan meminggirkan sejumlah pegawai yang, menurut pengalaman saya, relatif kritis dan berani. Padahal, bagi saya, organisasi publik membutuhkan karakter pegawai seperti itu. Sebuah institusi antikorupsi seperti KPK haruslah mempunyai kultur integritas dan kesetaraan di dalam diri para pegawainya untuk mempertahankan keseimbangan, agar organisasi tidak dipergunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu di internalnya. Apabila kultur itu sirna, lebih baik bubarkan saja KPK karena hanya akan menghabiskan anggaran negara," kata Faisal.
Faisal juga menilai keputusan untuk membina 24 pegawai KPK dan memberhentikan 51 lainnya merupakan strategi pecah belah. Menurutnya, keputusan itu mengerdilkan kekuatan para pegawai KPK tersebut.
"Lebih jauh, Keputusan Pimpinan KPK yang memilih 24 pegawai dan meminggirkan 51 pegawai sisanya, dari total 75 pegawai yang dinonaktifkan, adalah strategi pecah belah, semata mengerdilkan kekuatan para pegawai tersebut. Kalaupun nantinya, dari 24 pegawai yang akan diangkat menjadi ASN ini harus menjalani pembinaan, menurut saya, hal tersebut merupakan cacat yang hina karena rekan-rekan KPK sebetulnya sudah lulus tes integritas dan kompetensi saat melamar menjadi pegawai KPK. Jadi, integritas dan kompetensinya tak perlu diragukan," ucapnya.
(mae/dhn)