Putusan pailit yang final and binding di tingkat pertama digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon menilai putusan pailit yang pertama dan terakhir yang tidak ada ruang hukum untuk mengujinya lagi dapat mengancam perekonomian bangsa.
Duduk Perkara
Gugatan itu dilayangkan PT Sarana Yeoman Sembada. Perusahaan dari Batam itu meminta Pasal 235 ayat 1 dan Pasal 293 ayat 1 UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dihapus. Pasal 235 ayat 1 berbunyi:
Terhadap putusan penundaan kewajiban pembayaran utang tidak dapat diajukan upaya hukum apapun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sedangkan Pasal 293 ayat 1 menyatakan:
Terhadap putusan Pengadilan berdasarkan ketentuan dalam Bab III ini tidak terbuka upaya hukum, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
"Bahwa dengan ditutupnya upaya hukum apapun terhadap putusan kepailitan yang didahului putusan PKPU tersebut, maka telah menimbulkan kerugian secara konstitusional baik bagi pemohon maupun debitur-debitur lain yang pembuktian perkara utangnya tidak sederhana," demikian bunyi permohonan PT Sarana yang dilansir website MK, Minggu (23/5/2021).
Alasan Penggugat
PT Sarana menilai kaidah hukum di atas malah dipakai sebagai modus dalam dunia bisnis, sehingga bisa membahayakan perekonomian secara nasional.
"Modusnya adalah diambil 'jalan pintas' melalui permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sebagaimana yang terjadi dan dialami pemohon," ucapnya.
PT Sarana digugat PKPU tiga kali dan ditolak semuanya. Tapi dalam gugatan PKPU keempat dikabulkan oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri (PN) Medan pada 15 Desember 2020. Namun PT Sarana tidak bisa membela diri lagi karena UU terkait tidak membolehkan upaya hukum apapun. Padahal, PT Sarana menilai perusahaannya sehat dan sangat baik keuangannya.
"Dengan adanya pembatasan upaya hukum tersebut, jelas celah tersebut telah dimanfaatkan untuk merekayasa suatu persaingan bisnis yang tidak sehat dengan tujuan menjatuhkan dan menghentikan bisnis kompetitornya melalui suatu peradilan niaga. Bahkan juga berniat jahat menghentikan atau mematikan kegiatan suatu badan usaha usaha yang justru dapat merugikan kepentingan perekonomian negara," papar PT Sarana.
Menurut PT Sarana, UU Nomor 37 Tahun 2004 memberikan sarana upaya hukum sepanjang ada kekhilafan hakim yang nyata. Sebab, dengan tidak adanya upaya hukum atas putusan pailit tersebut, hak-hak konstitusional PT Sarana menjadi hilang.
"Oleh sebab itu, jika dapat diajukan upaya hukum terhadap putusan tersebut, yang kiranya dapat memperbaiki pertimbangan-pertimbangan hukum dalam putusan tersebut, yang secara jelas telah merugikan hak pemohon sebagai suatu badan hukum privat," ujarnya.
UU 37 Tahun 2004 hanya memberikan upaya hukum bagi putusan pailit yang dimohonkan langsung dari permohonan pailit. Sedangkan bagi pailit yang berasal dari permohonan PKPU, tidak bisa diajukan upaya hukum.
"Jelas ini menyebabkan ketidakadilan dan kepastian hukum bagi pemohon maupun badan usaha lainnya yang mungkin bernasib sama dengan pemohon," pungkas PT Sarana.
Gugatan ini didaftarkan ke MK pada 20 Mei 2021 dan saat ini masih diproses di kepaniteraan MK.
(asp/mae)