Jakarta -
Membeli properti harus cermat, mulai soal struktur bangunan hingga terkait perjanjian keperdataannya. Alih-alih mendapatkan hunian impian, bisa-bisa malah berujung sengketa.
Hal tersebut diceritakan pembaca detik's Advocate dalam surat elektronik yang diterima detikcom. Berikut surat lengkapnya:
Kepada Yth.
Redaksi detikcom
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bersama ini kami mohon masukan dalam kasus jual-beli rumah dan belum dilakukan AJB sebagai berikut :
Saya membeli rumah secara KPR di bank pada suatu developer di daerah Tangerang Selatan pada 2018. Dokumen yang ada pada saat itu hanya PPJB dan perjanjian kredit dengan bank. Pada tahun yang sama, rumah tersebut telah diserahterimakan ke saya.
Pada 2019, induk usaha developer tersebut melakukan IPO. Saya membaca prospektusnya dan ternyata developer memiliki pinjaman di bank dan mengagunkan sertifikat perumahan kami sejak 2016 dan hal tersebut tidak termuat dalam PPJB, bahkan pihak marketing bank pun tidak mengetahui hal tersebut.
Setelah mengetahui hal tersebut, saya meminta pihak bank mengonfirmasi hal tersebut dan saya meminta segera dilakukan AJB. Dalam PPJB yang saya tanda tangani memang tidak memuat tanggal akan dilakukannya AJB, hanya memuat pelaksanaan AJB akan dilakukan setelah syarat-syarat terpenuhi.
Menurut kami, syarat-syarat yang terdapat pada PPJB sudah terpenuhi karena harga jual rumah sudah termasuk biaya-biaya. Informasi dari bank, sebenarnya developer sendiri belum memenuhi perjanjiannya dengan bank karena belum melakukan AJB sehingga dibuatlah pertemuan antara debitur (customer), bank, dan developer pada Juni 2020. Hasil pertemuan tersebut adalah adanya pemberitahuan rencana AJB yang akan dilakukan pada Oktober 2020.
Pemberitahuan tersebut hanya dikirimkan kepada bank sehingga kami tidak menerima langsung dari developer. Pada saat pertemuan tersebut pihak developer masih menyangkal masalah pinjaman.
Rencana AJB tersebut tidak terlaksana dan pada Desember 2020 terdapat pertemuan lagi dengan developer dan menyampaikan perihal status sertifikat. Betul saat ini sertifikat sedang diagunkan di bank dan statusnya sudah pecah.
Akan tetapi perihal rencana AJB developer meminta waktu hingga Maret 2021. Beberapa dari kami termasuk saya tetap keukeuh untuk dilakukan pada Desember 2020. Kemudian, dari hasil pertemuan tersebut, disepakati bahwa untuk yang ingin melakukan AJB pada Desember 2020, apabila tidak terlaksana di bulan tersebut, angsuran pinjaman kami akan ditanggung oleh developer dan dalam surat pemberitahuan developer menyampaikan untuk rencana pelaksanaan pada Maret 2021.
Namun, hingga saat ini, belum ada undangan terkait pelaksanaan AJB dan kompensasi yang diberikan oleh developer hingga saat ini masih 1 (satu) kali angsuran KPR saja.
Karena rekening simpanan kami terpasang autodebit, walaupun developer belum membayarkan kompensasinya, pada saat kami gajian tetap terdebit oleh angsuran pinjaman tersebut.
Yang ingin saya tanyakan di sini adalah sebagai berikut :
Apa yang harus kami lakukan lagi supaya developer tidak menyepelekan perjanjiannya sendiri? Apakah kami bisa menuntut developer secara perdata maupun pidana dan seperti apa?
Berkaitan dengan pinjaman kami di bank, apakah bisa kami menuntut pihak bank untuk menonaktifkan autodebit kami selama belum dilakukan AJB karena angsuran kami ditanggung oleh developer. Apa yang harus kami lakukan?
Apakah dalam hal ini bank juga bersalah dan apa yang dilanggar oleh pihak bank? Kami harus melaporkan ke mana terkait dengan pihak bank ini?
Terima kasih
(Penanya meminta dirahasiakan identitasnya-red)
Untuk menjawab pertanyaan di atas, detik's Advocate meminta pendapat hukum dari Bambang Wijayanto, SH, MH, Managing Partner BWP Banking Legal Consultant. Simak jawaban di halaman selanjutnya.
Kepada Yth Penanya rubrik detik's Advocate (tidak bersedia disebutkan namanya)
Pertama-tama, kami turut bersimpati terhadap permasalahan yang Anda alami, semoga mendapat jalan keluar yang terbaik. Selanjutnya, berdasarkan pemahaman dan pengalaman kami sebagai praktisi hukum di industri perbankan, kami akan mencoba menjawab pertanyaan Anda, sebagai berikut:
Sebenarnya, di dalam praktik industri properti, adalah lazim jika suatu developer meminta pembiayaan dari suatu bank untuk tujuan investasi, yaitu membiayai pembangunan atau konstruksi dari suatu proyek perumahan yang akan dibangun dan dikelola oleh developer tersebut. Pada umumnya, developer tersebut diminta oleh bank untuk mengagunkan lahan proyek yang masih berupa sertifikat induk atas nama developer sebagai agunan dari pinjaman konstruksi tersebut.
Setelah mendapatkan pinjaman konstruksi dari bank, developer berkewajiban melakukan proses pemecahan sertifikat induk menjadi sertifikat pecahan per kaveling. Setiap sertifikat pecahan per kaveling wajib diserahkan terlebih dahulu oleh developer (secara teknis melalui notaris rekanan developer yang disetujui oleh bank) kepada bank untuk disimpan karena statusnya masih menjadi agunan terhadap pinjaman kredit konstruksi yang diterima developer dari Bank.
Selain untuk keperluan konstruksi, umumnya akan diikuti dengan kerja sama antara developer dan bank yang memberikan pinjaman konstruksi tersebut untuk sekaligus menyediakan fasilitas kredit pemilikan rumah (KPR) kepada para konsumen dari developer. Skemanya adalah, jika sertifikat per kaveling telah pecah, maka developer berkewajiban segera menjadwalkan penandatanganan akta jual beli (AJB) di hadapan pejabat pembuat akta tanah (PPAT) dengan konsumen. AJB tersebut penting agar konsumen dapat mendaftarkan pemindahan hak atas tanah tersebut ke kantor pertanahan menjadi atas nama konsumen, di mana sebelum dilakukan pemindahan hak tersebut, terlebih dahulu harus dilakukan peralihan hak melalui AJB di hadapan PPAT.
Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang intinya menyatakan bahwa setiap peralihan hak atas tanah (termasuk melalui jual beli) hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (Sesuai informasi bahwa Anda membeli pada 2018, maka rujukan peraturan yang berlaku saat itu adalah Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah).
Dalam hal konsumen membeli secara tunai dengan uang sendiri, setelah pemindahan hak dilakukan, selanjutnya konsumen berhak langsung atas sertifikat yang telah menjadi atas nama konsumen. Akan tetapi dalam kasus Anda di mana Anda membelinya melalui fasilitas KPR dari Bank, maka setelah Anda menandatangani AJB, selanjutnya pihak bank yang berhak untuk menerima sertifikat yang telah menjadi atas nama Anda, karena sertifikat tersebut merupakan agunan Anda atas fasilitas KPR yang Anda dapat dari Bank yang diikat dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) di hadapan PPAT. Anda baru dapat mengambilnya, setelah Anda melunasi pinjaman KPR Anda kepada bank.
Dari gambaran yang kami uraikan tersebut di atas, selanjutnya kami akan jawab satu persatu pertanyaan Anda, sebagai berikut:
1. Apa yang harus kami lakukan lagi supaya developer tidak menyepelekan perjanjiannya sendiri? Apakah kami bisa menuntut developer secara perdata maupun pidana dan seperti apa?
Tentu bisa. Secara perdata, Anda dapat mencari klausul di dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang menunjukkan adanya kewajiban bagi developer untuk segera menjadwalkan penandatanganan AJB dalam hal sertifikat per kavling telah pecah. Jika Anda, telah menemukan klausul adanya kewajiban developer tersebut, maka akan telah mempunyai alas hak (legal standing) yang kuat untuk menyatakan bahwa developer telah melakukan wanprestasi yaitu tidak melaksanakan prestasinya untuk berbuat sesuatu sesuai ketentuan Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
Setelah Anda mengetahui bahwa Anda berhak menyatakan developer wanprestasi, Anda juga perlu baca di PPJB apa konsekuensi bagi developer jika melakukan wanprestasi, dalam hal ini tidak kunjung menjadwalkan AJB padahal sertifikat pecahan per kavling telah terbit. Di dalam PPJB, jika telah diatur konsekuensi akibat wanprestasi maka Anda dapat meminta developer untuk memenuhinya, namun jika di PPJB tidak diatur konsekuensinya, Anda dapat mendasarkan pada konsekuensi secara hukum yaitu sesuai ketentuan Pasal 1236 dan 1239 KUHPerdata, pihak yang wanprestasi wajib memberikan ganti biaya, ganti rugi bahkan wajib dikenakan bunga sebagai konsekuensi pihak yang dirugikan karena kerugian yang dideritanya dan hilangnya keuntungan yang sedianya akan didapat.
Jika Anda berhasil mendapatkan pemenuhan konsekuensi itu semua dari developer secara sukarela maka hal tersebut merupakan hal yang baik, akan tetapi jika developer tidak mengindahkan permintaan Anda, Anda dapat menempuh jalur hukum melalui pengajuan gugatan perdata atas wanprestasinya developer disertai tuntutan ganti rugi, namun tentu upaya ini membutuhkan waktu, tenaga dan biaya yang tidak sedikit.
Lebih lanjut, jika Anda menemukan indikasi dugaan tindak pidana misalnya penggelapan atas sertifikat pecahan per kaveling, maka Anda tentu dapat membuat laporan kepada pihak kepolisian dengan terlebih dahulu Anda menghitung kerugian yang Anda derita akibat dugaan tindak pidana tersebut serta menunjukkan alat-alat bukti awal yang Anda miliki untuk menunjukkan dugaan tindak pidana tersebut.
Untuk menempuh jalur hukum, kami sarankan Anda untuk berkonsultasi lebih lanjut dengan advokat atau pengacara litigasi untuk mengatur strategi serta kalkulasi plus dan minus jika upaya hukum dilakukan, agar tidak makin merugikan Anda.
2. Berkaitan dengan pinjaman kami di bank, apakah bisa kami menuntut pihak bank untuk menonaktifkan autodebit kami selama belum dilakukan AJB karena angsuran kami ditanggung oleh developer. Apa yang harus kami lakukan?
Terkait keinginan Anda untuk menonaktifkan autodebit atau dengan kata lain menghentikan pembayaran dari uang Anda, kami sarankan untuk dilakukan dengan hati-hati. Anda boleh meminta hal ini kepada bank jika Anda benar-benar yakin bahwa developer telah membayarkan angsuran Anda dan akan terus membayarkannya sesuai kesepakatan. Jika Anda tidak yakin atas hal tersebut, kami tidak sarankan untuk dilakukan penghentian autodebit dari uang Anda sendiri, karena apa yang telah Anda lakukan adalah sudah benar, di mana Anda sebagai pembeli yang beritikad baik Anda terus melakukan pembayaran yang menjadi kewajiban Anda.
Di sini Anda telah menunjukkan prestasi Anda yang terus Anda penuhi sehingga membuat legal standing Anda makin kuat ketika Anda menuntut tanggung-jawab developer untuk segera menjadwalkan penandatanganan AJB.
Selain itu, autodebit pemotongan gaji Anda itu dari sisi hubungan hukum antara Anda dan bank adalah sebagai bentuk kewajiban Anda membayar pinjaman KPR yang Anda dapat dari bank sehingga, jika Anda hentikan, akan merugikan status kolektibilitas atau kemampuan bayar Anda kepada bank, dari yang semula berstatus Lancar menjadi Dalam Perhatian Khusus, bahkan jika Anda terus tidak bayar melewati 90 hari status kredit Anda dapat ditetapkan menjadi Kurang Lancar, Diragukan atau bahkan Macet. Tentu hal tersebut akan memperburuk keadaan dan membuat Anda menjadi rugi karena reputasi menjadi buruk di mata perbankan.
3. Apakah dalam hal ini bank juga bersalah dan apa yang dilanggar oleh pihak bank? Kami harus melaporkan kemana terkait dengan pihak bank ini?
Berdasarkan informasi dari Anda, kami tidak melihat adanya unsur kesalahan bank dalam kasus ini. Sebagaimana gambaran yang kami uraikan di awal, bank justru berkepentingan dengan dilaksanakannya penandatanganan AJB dengan segera karena bank ingin segera Anda menandatangani APHT dengan bank, agar sertifikat hak atas tanah Anda dapat dibebankan hak tanggungan sebagai agunan fasilitas KPR Anda kepada bank.
Oleh karena itu, saran kami, justru sebaiknya Anda terus menjalin komunikasi dengan bank untuk bersama-sama dengan bank mendesak developer untuk segera menjadwalkan penandatanganan AJB karena baik Anda maupun bank mempunyai kepentingan atas dilaksanakannya AJB tersebut.
Demikian jawaban kami atas pertanyaan Anda, dan perlu kami sampaikan juga bahwa untuk melindungi hak Anda sebagai konsumen, Anda dapat juga memanfaatkan komunitas perlindungan konsumen yang ada di masyarakat guna mendapatkan advice lebih detil terkait perlindungan hak-hak konsumen Anda, dalam menuntut sikap tanggung-jawab dan respons dari pihak developer.
Semoga bermanfaat dan semoga permasalahan Anda segera terselesaikan secara win-win solution. Salam sehat dan sukses selalu.
Bambang Wijayanto SH MH
Managing Partner BWP Banking Legal Consultant (www.bwplegalconsultant.com)
Tentang detik's Advocate
detik's Advocate adalah rubrik di detikcom berupa tanya-jawab dan konsultasi hukum dari pembaca detikcom. Semua pertanyaan akan dijawab dan dikupas tuntas oleh para pakar di bidangnya dan akan ditayangkan di detikcom.
Pembaca boleh bertanya semua hal tentang hukum, baik masalah pidana, perdata, keluarga, hubungan dengan kekasih, UU Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE), hukum merekam hubungan badan (UU Pornografi), kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) hukum waris, perlindungan konsumen dan lain-lain.
Identitas penanya bisa ditulis terang atau disamarkan, disesuaikan dengan keinginan pembaca. Seluruh identitas penanya kami jamin akan dirahasiakan.
Pertanyaan dan masalah hukum/pertanyaan seputar hukum di atas, bisa dikirim ke kami ya di email:
redaksi@detik.com dan di-cc ke-email: andi.saputra@detik.com
Berhubung antusias pembaca untuk konsultasi hukum sangat beragam dan jumlahnya cukup banyak, kami mohon kesabarannya untuk mendapatkan jawaban.
Semua jawaban di rubrik ini bersifat informatif belaka dan bukan bagian dari legal opinion yang bisa dijadikan alat bukti di pengadilan serta tidak bisa digugat.
Salam
Tim Pengasuh detik's Advocate
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini