Mahkamah Agung (MA) membebaskan advokat Lucas karena dinilai tidak terbukti menghalang-halangi penyidikan KPK. MA beralasan kesaksian itu hanya didasarkan pada keterangan penyidik KPK Novel Baswedan.
Advokat Lucas didakwa menghalangi-halangi KPK menangkap Eddy Sindoro dengan menyarankan Eddy agar kabur ke luar negeri. Namun hal itu dinilai MA tidak terbukti.
"Yang memberi kesaksian bahwa Terdakwa-lah yang menyarankan agar Eddy Sindoro tidak pulang dulu ke Indonesia adalah saksi Novel Baswedan," kata juru bicara MA hakim agung Andi Samsan Nganro kepada wartawan, Jumat (9/4/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Andi menyatakan, menurut keterangan Novel Baswedan di persidangan bahwa sekitar Desember 2016, Novel mendapatkan bukti adanya rekaman Eddy Sindoro dengan Lucas. Dalam pembicaraan tersebut terdengar Eddy Sindoro tidak mau pulang karena Lucas memberikan saran dan masukan agar tidak pulang dulu.
"Keterangan Novel Baswedan ini berdiri sendiri dan bertentangan dengan alat bukti lainnya karena keterangan Terdakwa maupun keterangan Saksi Eddy Sindoro (semua disumpah di persidangan) menyatakan bahwa mereka tidak pernah berkomunikasi sejak bulan April 2016," ucap Andi mengutip pertimbangan putusan PK tersebut.
Di persidangan, Novel tidak mendengar langsung pembicaraan antara Lucas dan Eddy Sindoro. Tetapi hanya memperoleh informasi adanya rekaman pembicaraan tersebut dari pihak lain.
"Keterangan saksi seperti ini sangat lemah karena tidak didengar langsung sehingga dapat menimbulkan distorsi dan pemahaman yang keliru dalam mendengar dan menyampaikannya kepada orang lain. Dalam praktik kesaksian testimonium de auditu seperti ini tidak dapat diterima sebagai alat bukti karena tidak sesuai dengan Pasal 1 angka 26 KUHAP di mana keterangan saksi harus dengar sendiri, lihat sendiri, dan alami sendiri," beber Andi.
Novel juga meyakini bahwa percakapan dalam rekaman tersebut adalah benar suara Lucas dengan Eddy Sindoro.
"Keterangan ini sifatnya subjektif dan keliru karena rekaman pembicaraan tersebut diambil pada 2016, sementara saksi Novel Baswedan mengakui bahwa baru mengenal Terdakwa ketika melakukan penangkapan pada 1 Oktober 2018 dan Eddy Sindoro ketika menyerahkan diri pada 12 Oktober 2018," ujar Andi membacakan pertimbangan majelis.
"Jadi bagaimana mungkin Saksi Novel Baswedan bisa menyakini itu ada suara Terdakwa dan Eddy Sindoro di tahun 2016, padahal Saksi Novel Baswedan sendiri baru mengenal Terdakwa dan Eddy Sindoro di tahun 2018?" sambungnya.
Di persidangan juga dimintai keterangan ahli digital forensik. Apa kata MA? Baca di halaman selanjutnya.
Tonton juga Video: KY Gandeng KPK Telusuri Rekam Jejak Calon Hakim Agung
MA juga menampik keterangan ahli Dhani Arifianto yang memeriksa keaslian rekaman telepon Lucas dengan Eddy Sindoro. Namun, ketika diperdengarkan di persidangan, ada empat orang yang sedang bercakap-cakap.
"Ahli Dhani Arifianto mengakui bahwa tidak melakukan pemeriksaan hashing terhadap file rekaman yang berasal dari penyidik, sedangkan menurut pendapat ahli Ruby Alamsyah, hashing harus dilakukan untuk semua barang bukti elektronik guna menjamin keaslian dari barang bukti tersebut. Hashing harus dilakukan mengingat ada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini di mana bukti elektronik berupa rekaman percakapan dapat direkayasa sesuai dengan kemauan atau kepentingan pihak-pihak tertentu sehingga manipulasi suara dari aslinya dapat dilakukan," bebernya.
Menurut MA, metode yang digunakan oleh ahli Dhani Arifianto dalam menganalisis rekaman suara tersebut adalah metode ltekure Saito. Sedangkan menurut ahli Ruby Alamsyah, metode yang digunakan ahli Dhani Arifianto tersebut tidak dapat digunakan untuk audio forensic tetapi cocoknya untuk audio engineering. Lebih lanjut menurut pendapat ahli Ruby Alamsyah, untuk mengidentifikasi suara seseorang dalam suatu rekaman dengan metode audio forensic, yakni analisis pitch formant dengan membandingkan minimal 20 sampel kata dan kalimat yang sama dengan yang ada di dalam rekaman.
"Ternyata metode ini tidak dilakukan oleh ahli Dhani Arifianto," tegas majelis. Lanjut majelis, mengingat metode yang digunakan oleh ahli Dhani Arifianto dalam menganalisis rekaman percakapan sehingga berkesimpulan bahwa suara dalam rekaman tersebut merupakan suara Lucas dan Eddy Sindoro dibantah akurasinya oleh ahli lain, maka rekaman suara tersebut tidak dapat dipastikan apakah benar atau bukan suara Lucas dan Eddy Sindoro tersebut.
"Maka dengan demikian barang bukti nomor 76 tidak dapat dinilai kebenaran dan akurasinya sehingga tidak dapat dinilai sebagai barang bukti yang valid dan terverifikasi," ucapnya.
Bagaimana sebetulnya perjalanan kasus ini sehingga KPK kalah? Baca di halaman selanjutnya.
Kasus bermula saat KPK menangkap panitera PN Jakpus, Edy Nasution, pada 2016. Dari penangkapan itu, KPK bergerak masuk ke MA untuk menyelidiki lebih lanjut.
Ternyata Edy menerima uang dari Eddy Sindoro untuk mengurus perkara. Dalam perjalanannya, Eddy Sindoro dicekal dan kabur sehingga KPK tidak bisa menangkapnya.
Kaburnya Eddy Sindoro diyakini KPK atas bantuan Lucas. Akhirnya Lucas ikut diadili dengan dakwaan merintangi penyidikan KPK.
Pada 20 Mare 2019, PN Jakpus menjatuhkan hukuman 7 tahun penjara kepada Lucas. Hukuman Lucas dikurangi menjadi 5 tahun penjara di tingkat banding. Di tingkat kasasi, hukuman Lucas kembali disunat menjadi 3 tahun penjara. Lucas yang yakin tidak bersalah mengajukan PK dan dikabulkan. Lucas pun bebas.
Duduk sebagai ketua majelis hakim agung Salman Luthan dengan anggota Prof Abdul Latief dan Sofyan Sitompul. Putusan yang diketok pada 78 PK/Pid.Sus/2021 itu diketok pada Rabu (7/4) kemarin dengan panitera pengganti Istiqomah Berawi. Namun Salman Luthan menyatakan dissenting opinion dan tidak setuju dengan vonis itu. Tetapi Salman kalah suara.