Peneliti Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia (UI), Naufal Umam menilai kaum milenial rentan terpapar radikalisme. Menurut Naufal, generasi muda memiliki karakter ingin diakui yang mudah dimanfaatkan oleh kelompok terorisme.
"Untuk menargetkan generasi milenial atau usia dewasa muda mungkin ya lebih tepatnya. Memang ada satu karakter khas dari usia ini yang mudah dimanfaatkan untuk terlibat dalam tindak terorisme atau setidaknya berbaiat terhadap kelompoknya," kata Naufal kepada wartawan, Kamis (1/4/2021).
Karakter itu, kata Naufal, adalah keinginan yang kuat untuk menjadi bermakna dari suatu kelompok. Naufal menyebut para milenial memiliki perilaku ingin dipandang independen oleh lingkungan dia berada.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Keinginan kuat untuk merasa dirinya spesial, berharga, bermakna atau menjadi bagian dari suatu kelompok yang spesial, berharga, bermakna. Ini adalah usia di mana seseorang mulai dipandang sebagai seorang yang independen dan juga masa di mana seseorang harus menunjukkan mating quality-nya atau seberapa keren, mengagumkan, membanggakan ia untuk dijadikan pasangan," tutur Naufal.
Naufal menuturkan aktivitas terorisme menawarkan kaum milenial itu untuk memenuhi hasratnya memiliki identitas yang istimewa. Naufal juga menilai kaum milenial mudah terpengaruh dengan narasi 'pejuang Allah'.
"Maka secara umum kita bisa lihat usia dewasa muda atau generasi milenial ini akan gandrung terhadap motivasi sukses, gerakan-gerakan sosial, dan terorisme pun menawarkan identitas dan aktivisme yang memenuhi hasrat untuk memiliki identitas istimewa tersebut. Terlebih lagi di saat seperti ini, di mana seakan-akan semua orang dituntut untuk punya personal branding yang wah dari profil media sosialnya," jelasnya.
"Narasi-narasi seperti 'pejuang Allah', 'pelindung umat', 'pembela kebenaran', 'umat pilihan', dan lain sebagainya sangat menggiurkan bagi mereka yang menjalani hidup biasa-biasa saja, apalagi bagi mereka yang hidup berkekurangan. Ini akan menjadi ajang pembuktian bagi mereka. Slogan yang selalu beredar di penganut jihad ini kan juga 'hidup mulia' atau 'mati syahid'," papar Naufal.
"Kalau mereka merasa tidak bisa mencapai hidup mulia tersebut (merasa terlalu bodoh untuk jadi ulama, terlalu miskin untuk jadi dermawan, terlalu kecil untuk bisa berkuasa), mati syahid menjadi pilihan berikutnya." imbuhnya.
Lebih lanjut, menurut Naufal, kaum milenial kaya juga memiliki peluang untuk terpapar radikalisme. Sebab, adanya merasa kurang atau merasa diperlakukan tidak adil.
"Lalu bagaimana dengan orang kaya yang masih saja terseret dalam tindak terorisme? Ini masih ada kaitannya dengan 'merasa kurang' itu, atau dalam psikologi kita sebut dengan 'relative deprivation'. Sebuah persepsi bahwa mereka diperlakukan tidak adil, dikerdilkan, dan sengsara, padahal mereka merasa seharusnya bisa lebih dari diri mereka saat itu. Bisa saja orang lain menganggap mereka berkecukupan, tapi mereka merasa kurang dan dirugikan," jelas dia.
Naufal menyebut, selain faktor pengakuan, faktor lingkungan juga mempengaruhi anak muda terpapar radikalisme. Dia menyebut anak muda bisa terpapar radikalisme dalam waktu yang amat cepat.
"Kalau agar supaya tidak terpapar radikalisme itu susah. Di zaman informasi seperti ini, dalam satu waktu kita akan terpapar juga. Pertanyaannya sebenarnya adalah siapa yang rentan terjerumus kalau terpapar? Ini dipengaruhi besar oleh 2 faktor, selain faktor pertama tentang keberhargaan diri tadi, faktor berikutnya adalah lingkungannya," sebutnya.
"Apakah ia berada di lingkungan yang homogen dan tidak pernah tahu pemikiran lain di luar dunia keyakinannya? Apakah ia penyendiri yang bersosialisasi utama hanya pada medsos dengan orang-orang sepemikiran? Orang seperti inilah yang akan mudah terseret jika terpapar radikalisme," sambung Naufal.
Lalu, bagaimana cara mencegahnya? Naufal menilai salah satu upaya terbaik yaitu adanya kontra-narasi radikal dari pemerintah dan pihak lainnya.
"Upaya terbaik sebenarnya kontra-narasi radikal, baik dari pemerintah atau pihak manapun, harus secara proaktif terbuka dan mudah diakses banyak orang, sehingga pemikiran damai punya tingkat keterpaparan yang sama dan bahkan lebih kuat daripada pemikiran radikal. Kalau diri secara personal, sering-seringlah mengakses sudut pandang yang berbeda dan perluas lingkup pergaulan sosial," jelas dia.
Sementara itu, Psikolog dari Fakultas Psikologi UI, Wuri Prasetyawati mengatakan kaum milenial rentan terpengaruh radikalisme di media sosial. Sebab, mereka adalah generasi yang paling sering menggunakan aplikasi di dunia maya itu.
"Radikalisme mempengaruhi generasi milenial lewat sosmed karena mereka adalah generasi yang paling sering menggunakan sosmed. Sedangkan pihak yang berusaha mempengaruhi, dapat menciptakan tampilan dan ajakan yang menarik dan secara intens, sehingga lama-kelamaan orang menjadi tertarik untuk membaca dan mengikuti lebih lanjut," kata Wuri saat dihubungi terpisah.
Krisis identitas, kata Wuri, adalah faktor terkuat yang memicu generasi milenial rentan terpapar. Faktor lain adalah kurang berpikir kritis hingga sulit berinteraksi secara sosial.
"Di sisi lain, anak muda ini mungkin ada dalam kondisi yang rentan mengalami krisis identitas, kurang berpikir kritis, sulit berinteraksi secara sosial, sehingga saat satu informasi dirasakan menjadi jawaban atas masalah yang dialaminya. Informasi itu mengisi 'kekurangan' yang selama ini ia rasakan. Dengan demikian, terbuka terhadap orang lain, berpikir kritis, berusaha selalu mengembangkan diri ke arah positif diharapkan dapat mengurangi radikalisme," tutur dia.
Lebih lanjut, Wuri memaparkan pentingnya peran keluarga dan orang tua. Dia mengatakan orang tua adalah agen penting dalam mencegah radikalisme itu terjadi.
"Orangtua tau keluarga adalah agen yang paling penting dalam mencegah radikalisme terjadi," katanya.
Seperti diketahui, dalam waktu yang berdekatan Indonesia diterpa dua teror. Pertama bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan. Kedua penyerangan di Mabes Polri.
Nah, pelaku dua peristiwa teror itu tergolong berusia muda. Lukman, bomber di Gereja Katedral berusia 26 tahun. Begitu juga pelaku penyerangan Mabes Polri, Zakiah Aini berusia 26 tahun.