Berikut ini 5 kaidahnya:
1. Kaidah yakin
Suatu vaksin dikatakan halal jika masih tahap percobaan, seperti clinical trial fase-1, langsung dikomersialkan atau langsung dipakai.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
2. Kaidah Niat
Artinya, sebagus apa pun bendanya, proses pembuatannya, jika tujuannya untuk kemudaratan (keburukan), pasti haram.
3. Kaidah Masyaqqat
Artinya, jangan sampai dalam proses vaksinasi nantinya menimbulkan penyakit yang lain. Apabila efek samping yang ditimbulkan dari vaksinasi ini cukup besar, maka vaksin itu menjadi haram. Misalkan, setelah divaksinasi nantinya akan menyebabkan kanker, hal itu tidak boleh.
4. Kaidah Adh Dhararu/Kaidah Kedaruratan
Jadi dalam kondisi darurat, hal-hal yang menyebabkan haram itu kemudian dapat gugur. Jadi, meski ada unsur babinya, karena hal ini darurat, maka itu menjadi halal. Hingga nanti menemukan vaksin yang tidak menggunakan tripsin dari babi, maka vaksin yang ada hari ini tetap halal. Saat nanti ditemukan vaksin dengan tripsin dari sapi atau status pandemi COVID-19 ini berubah menjadi endemi saja, barulah dapat dikatakan kedaruratan dari permasalahan ini sudah lewat. Maka ketika vaksinasi COVID-19 ini menjadi elektif, di situlah kemudian masyarakat bisa memilih vaksin yang benar-benar halal. Pernyataan bahwa vaksin COVID-19 AstraZeneca ini haram tetapi boleh digunakan dari MUI menurut saya berasal sudut pandang ini.
5. Kaidah Al Urf
Ini adalah terkait dengan kearifan lokal. Namun Atoillah menilai kalau poin yang ini kurang cocok untuk diimplementasikan dalam vaksin. Al Urf ini contohnya acara selamatan. Selama itu tidak melanggar akidah intinya, boleh.
(zak/knv)