10 Kali UU ITE Digugat ke MK, Tak Ada Satu Pun yang Dikabulkan

10 Kali UU ITE Digugat ke MK, Tak Ada Satu Pun yang Dikabulkan

Andi Saputra - detikNews
Jumat, 19 Feb 2021 17:53 WIB
Hakim Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat (tengah), Wahiduddin Adams (kiri) dan Manahan MP Sitompul (kanan) memimpin sidang pengujian formil UU Cipta Kerja di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (12/11/2020). MK menggelar sidang pengujian formil atas dugaan pelanggaran asas formil dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diajukan oleh Gerakan Masyarakat Pejuang Hak Konstitusi (GMPHK). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/nz
Ilustrasi sidang di MK (ANTARA FOTO/PUSPA PERWITASARI)

Empat tahun setelahnya atau pada 2013, pengacara Farhat Abbas melayangkan gugatan UU ITE ke MK. Berbeda dengan dua kasus sebelumnya, kali ini Farhat Abbas meminta Pasal Ujaran Kebencian di UU ITE dihapus. Pasal yang dimaksud berbunyi:

Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mengapa Farhat Abbas menggugat? Selidik punya selidik, gugatan dilayangkan setelah ia dijadikan tersangka atas ujaran kebencian SARA kepada Gubernur DKI Jakarta Ahok. Namun, gugatan Farhat Abbas juga bernasib serupa dengan gugatan sebelumnya.

MK menilai pasal yang digugat adalah untuk melindungi kebinekaan Indonesia dan dapat mengikis persatuan Indonesia. Sebab, bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, namun dalam persatuan dan kesatuan Indonesia.

ADVERTISEMENT

"Ketentuan Pasal 28 ayat 2 UU ITE justru bersesuaian dengan perlindungan, termasuk perlindungan kehormatan bangsa Indonesia. Paralel dengan prinsip ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tidak ada agama yang membenarkan penyebaran kebencian sesuai dengan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Sebab, kemanusiaan mengharuskan perlakukan sama serta penghormatan kepada sesama manusia," ujar majelis.

Sama dengan Farhat Abbas, pengacara Habibburokhman dan Asma Dewi juga menggugat pasal serupa ke MK. Tapi MK bergeming.

MK berpendapat kekhawatiran Habiburokhman dan Asma Dewi bila pasal itu menjadi pasal karet, tidak beralasan menurut hukum. Sebab, hukum, khususnya hukum pidana, diciptakan bukan untuk melindungi sifat maupun tindakan/perbuatan jahat.

"Bahkan, dalam ilmu hukum pidana, dikatakan bahwa salah satu unsur objektif tindak pidana adalah adanya sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid). Tindakan/perbuatan korupsi, anti-Pancasila, mencuri, merampok, sebagai contoh, adalah tindakan yang melanggar hukum," kata MK dengan tegas.

Mantan Ketua DPR Setya Novanto juga pernah meminta tafsir UU ITE ke MK. Pangkalnya, ia tidak terima percakapan pribadi dengan Sudirman Said direkam secara terselubung. Bagi Setya Novanto, hal itu merupakan bagian dari penyadapan dan melanggar hak asasi manusia (HAM).

MK memutuskan harusnya Setya Novanto mempermasalahkan apa yang dialaminya ke kepolisian, bukan menguji UU ITE ke MK.

"Sehingga seharusnya yang ditempuh oleh Pemohon adalah mempermasalahkannya secara hukum selaku korban melalui peradilan pidana dan perdata guna menegakkan Undang-Undang a quo, bukan justru menguji Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2)," kata MK.

Selain lima kasus di atas, lima gugatan terhadap UU ITE juga mengalami hasil serupa. Yaitu perkara Nomor 78/PUU-XVII/2019, perkara Nomor 50/PUU-XVIII/2020, perkara Nomor 64/PUU-XVI/2018, perkara Nomor 74/PUU-XIV/2016 dan perkara Nomor 1/PUU-XIII/2015.


(asp/knv)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads