"Bahkan, dalam ilmu hukum pidana, dikatakan bahwa salah satu unsur objektif tindak pidana adalah adanya sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid). Tindakan/perbuatan korupsi, anti-Pancasila, mencuri, merampok, sebagai contoh, adalah tindakan yang melanggar hukum," kata MK dengan tegas.
Sejumlah orang yang terbukti melakukan berbagai tindakan tersebut dan telah dijatuhi putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, dinilai tidak masuk akal untuk merasa tersinggung atau dirugikan, serta tidak mungkin meminta perlindungan hukum dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Orang atau golongan yang disangka demikian memiliki hak untuk dilindungi dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE," papar majelis.
Terhadap dalil multitafsir kata 'golongan', MK berpendapat Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE merupakan peraturan yang sifatnya lebih khusus dibandingkan dengan ketentuan Pasal 156 KUHP. Menurut MK, penggunaan istilah/kata yang sama oleh dua UU yang berbeda bukanlah sebuah kesalahan apalagi pelanggaran konstitusi.
"Selama keduanya memiliki konteks yang berbeda dan perbedaan demikian dapat dengan mudah diketahui melalui penafsiran kontekstual," ujar majelis yang terdiri atas Anwar Usman, Arief Hidayat, Suhartoyo, Manahan MP Sitompul, Saldi Isra, Maria Farida Indrati, I Dewa Gede Palguna, Aswanto, dan Wahiduddin Adams.
(asp/rfs)