Pembeli Jelaskan Duduk Perkara Jual Beli Pulau Lantigiang Selayar

Pembeli Jelaskan Duduk Perkara Jual Beli Pulau Lantigiang Selayar

Hermawan Mappiwali - detikNews
Senin, 01 Feb 2021 19:30 WIB
Pantai Sunari dan Pantai Liang Kareta di Kepulauan Selayar
Foto: Ilustrasi pulau di Kepulauan Selayar, Sulsel (Esty Rahayu Anggraini).
Selayar -

Wanita pengusaha asal Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan (Sulsel), Asdianti menjelaskan duduk perkara kasus jual beli Pulau Lantigiang. Asdianti yang membantah membeli Pulau Lantigiang menegaskan hanya meminta hak pengelola lahan untuk membangun resort.

Jauh sebelum bertemu dengan Syamsul Alam yang mengklaim memiliki lahan di Pulau Lantigiang, Asdianti mengaku lebih dulu berkonsultasi dengan Balai Taman Nasional Takabonerate pada tahun 2017. Sebab, untuk mengelola Pulau Lantigiang di kawasan Taman Nasional Taka Bonerate Asdianti harus memiliki rekomendasi dan izin dari mereka.

"(Saya bilang) Kasih saya pulau atau tempat, lahan yang mana yang bisa bangun resort ditunjukkan lah beberapa tempat-tempat pulau yang bisa saya bangun resort termasuk di Latu Besar, Rantia, Pulau Belang-belang dan lain-lain," kata Asdianti saat berbincang dengan detikcom, Senin (1/2/2021).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Asdianti bersama suaminya yang berkebangsaan Jerman pada awalnya memilih Pulau Latondu Besar untuk dikelola dengan alasan kawasan berpenghuni. Alhasil, Asdianti membeli lahan 1 hektare di Pulau Latondu Besar.

Namun, upaya Asdianti belakangan gagal karena tak mendapat restu dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang menolak menerbitkan surat hak milik (SHM).

ADVERTISEMENT

"Saya beli lah tanah 1 hektare di Latondu Besar, setelah itu saya meminta izin untuk bikin sertifikat di BPN. Ternyata ditolak penerbitan dengan adanya keputusan-keputusan itu," katanya.

Keputusan yang dimaksud ialah Asdianti tidak dibenarkan membeli lahan di pulau karena termasuk dalam kawasan Balai Taman Nasional Takabonerate karena hanya bisa dikelola. Asdianti mengaku legawa.

"Katanya tidak boleh terbit sertifikat akhirnya saya bilang okay. Sertifikat hak milik yah karena waktu itu saya minta sertifikat hak milik. Okay, ditolak," katanya.

Karena ditolakBPN,Asdianti mengaku lalu kembali berkonsultasi ke Balai Taman Nasional Takabonerate, simak selengkapnya di halaman selanjutnya>>>

Karena penolakan dari BPN, Asdianti mengaku akhirnya kembali berkonsultasi dengan pihak Balai Taman Nasional Takabonerate. Dia lalu kembali mengajukan diri untuk mengelola lahan, kali ini Asdianti memilih lahan di Pulau Lantigiang.

"Akhirnya saya ambil lagi Lantigiang dengan minta sertifikat pengolaan bukan sertifikat hak kepemilikan, karena kawasan itu tidak boleh dimiliki, tapi berarti bisa dikelola dong. Maka saya minta sertifikat pengelolaan. Saya minta semua syarat-syaratnya itu, apa saja syarat-syaratnya. Supaya bisa mengelola saya penuhi syarat-syaratnya," katanya.

Hanya, kata Asdianti, upayanya tersebut tak lagi mendapat respons dari pihak Balai Taman Nasional Takabonerate. Alhasil, Asdianti menggugat Balai Taman Nasional Takabonerate ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Makassar.

"(Hingga) Juni 2020 ternyata tidak ada jawaban dari pihak balai. Akhirnya saya lapor ke PTUN Makassar, sidang 6 kali dikabulkan lah permohonan saya, akhirnya tembus pertimbangan teknis untuk penerbitan sertifikat pengelolaan yang saya minta seusai permohonan saya kan," jelas Asdianti.

Usai mendapatkan hak pengelolaan PulauLantigiang dariPTUN Makassar,Asdianti lalu meminta izin untuk membeli lahan di Pulau Lantigiang yang telah dimiliki warga bernamaSyamsul Alam. Simak selengkapnya di halaman selanjutnya>>>

Setelah permohonan untuk mengelola lahan di Pulau Lantigiang dikabulkan, belakangan Asdianti mengaku mengetahui bila lahan yang kelak akan dia kelola untuk dibangun resort tersebut ternyata lebih dulu dikelola oleh Syamsul Alam. Dan Syamsul Alam atau nenek moyangnya bahkan disebut mengelola lahan di Pulau Lantigiang sejak tahun 1942.

Karena fakta tersebut, Asdianti mengaku menemui Syamsul Alam. Asdianti mengaku tidak dapat segera mengelola lahan tersebut, sebab masih ada Syamsul Alam dan pihak keluarganya yang selama ini mengelola lahan tersebut.

"Jadi misal saya dikasih izin nih dari Balai, tetapi kalau saya tidak selesaikan (dengan pihak Syamsul Alam) nanti saya diparang-parangi, kalau di Selayar itu a jallo-jalo (marah-marah), orang kita hargailah hak warga setempat," kata Asdianti.

Asdianti mengaku memahami lahan di Pulau Lantigiang memang termasuk ke dalam kawasan Balai Taman Nasional Takabonerate. Namun di satu sisi, Asdianti tidak bisa begitu saja mengabaikan hak Syamsul Alam, lelaki yang selama ini mengelola lahan di Pulau Lantigiang.

"Ya kita kan menghargai hak-hak masyarakat. Balai muncul di tahun 1993, Pak Syamsul dan keluarganya itu sudah dari sana berkebun beratus tahun yang lalu ya, dari nenek moyangnya dia," kata Asdianti.

Namun saat ditanya apa dasar hak dari Syamsul Alam sehingga mengaku sebagai pemilik dan pengelola lahan, Asdianti mengaku jawaban itu harus diberikan oleh kuasa hukumnya.

"Itu pertanyaanmu kan Undang-undang ya. Kalau bahasa hukum saya kurang jelas. Kalau itu pengacara saya yang lebih tahu," jelas Asdianti.

"Setahu saya itu walaupun masuk kawasan kita tetap membebaskan tanah masyarakat," pungkasnya.

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads