Dalam draf RUU Pemilu diatur mengenai pelarangan mantan anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mengikuti kontestasi pilpres, pileg hingga pilkada. Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai aturan tersebut berlebihan.
"Pasal tersebut sebenarnya cukup berlebihan ya mengingat ada beberapa putusan MK terdahulu yang bisa menjadi pertimbangan dalam membuat pengaturan terkait pencalonan bekas anggota HTI," ujar Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini saat dihubungi, Senin (25/1/2021).
Titi mengatakan adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan syarat caleg terkait bukan mantan anggota organisasi terlarang. Sehingga menurutnya mantan anggota organisasi terlarang tetap dapat mencalonkan diri di pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD berikutnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Misalnya Putusan Mahkamah Konstitusi 011-017/PUU-I/2003 yang membatalkan ketentuan persyaratan caleg dalam Pasal 60 huruf g UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD yang berbunyi 'bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam G30S/PKI, atau organisasi terlarang lainnya'," ujar Titi.
"Sehingga dalam pemilu-pemilu setelahnya, mereka bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam G30S/PKI, atau organisasi terlarang lainnya, bisa mencalonkan di pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD. Namun untuk pemilu presiden memang masih berlaku larangan tersebut," sambungnya.