Kisah Nyai Dasima bukan hanya mengandung cerita cinta, namun juga pertentangan. Ahli memandang cerita Nyai Dasima mengandung sentimen anti-pribumi.
Catatan primer tentang Nyai Dasima bersumber dari novelet (novel pendek) karya Gijsbert Francis, berjudul 'Tjerita Njai Dasima' yang diterbitkan oleh Kho Tjeng Bie & Co, Batavia tahun 1896.
Dikisahkan oleh G Francis, Nyai Dasima adalah perempuan pribumi yang menjadi istri dari Edward W atau Tuan W. Dasima adalah pribumi Islam dan Tuan W adalah orang Eropa Nasrani. Dasima kemudian dibujuk pribumi lainnya untuk meninggalkan Tuan W karena hubungan suami-istri dengan Tuan W sama saja dengan kumpul kebo alias zina dalam ajaran Islam. Perbuatan zina adalah dosa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah kembali ke dunia pribumi, Dasima malah menderita dan akhirnya tewas dengan tragis, dibunuh. Mayatnya ditemukan oleh Tuan W, anak, dan pembantunya.
Dari kisah Nyai Dasima karya G Francis, maka karakter Tuan W akan tercitra sebagai sosok yang baik, sedangkan karakter-karakter pribumi macam Samiun (suami Nyai Dasima), Hayati (istri pertama Samiun), Saleha (ibu Hayati), hingga Puasa (pembunuh Nyai Dasima) adalah tokoh-tokoh antagonis yang jahat.
Pakar sastra Universiti Malaya, Umar Junus, menulis di Jurnal Humaniora UGM. Laporannya berjudul 'Nyai Dasima and The Problem of Interpretation: Intertextuality, Reception Theory and New Historicism'.
Umar Junus menjelaskan, 'Tjerita Njai Dasima' dikarang oleh G Francis, seorang keturunan Inggris yang kemudian ikut bekerja di pemerintahan Belanda. Novelet karya G Francis sangat kental bernuansa kolonialisme yang anti-pribumi, bahkan anti-Islam.
"Segala hal dalam kisah Nyai Dasima ada dalam ideologi Francis yang mengambil sikap oposisi terhadap orang-orang yang terasosiasi dengan gerakan nasionalis menentang kolonialisme Belanda," tulis Umar Junus dalam telaahnya.
Francis menuliskan Nyai Dasima pada tahun 1896 dengan mengambil latar belakang peristiwa tahun 1813, atau era Inggris menjajah Indonesia. Dalam kisah itu, pribumi digambarkan sebagai pihak yang memanipulasi agama, membujuk orang lain dengan bungkus agama. Dalam hal ini, Mak Buyung sebagai suruhan Samiun membujuk Nyai Dasima agar meninggalkan Tuan W.
"Kisah Dasima versi Francis mendiskreditkan pribumi yang mengorbankan Dasima, pertama dengan menjebaknya ke dunia mereka dan kemudian mengorbankannya," tulis Umar Junus.
Mak Buyung mengingatkan bahwa hubungan kumpul kebo dengan Tuan W adalah zina, maka lebih baik tinggalkan saja Tuan W. Akhirnya Nyai Dasima menikah dengan Samiun, pria yang sebenarnya sudah beristri (Hayati) dan bekerja sebagai tukang tadah barang curian.
Selanjutnya, penggambaran negatif dunia pribumi:
Dunia pribumi digambarkan pemalas. Di sisi lain, Tuan W harus bekerja dari pagi hingga sore hari. Pribumi digambarkan menikmati hidup, tidak melakukan apapununtuk meningkatkan kondisi hidup mereka. Dunia pribumi digambarkan sebagai dunia yang gelap, sedangkan dunia orang Eropa digambarkan sebagai dunia yang cerah dan baik.
"Faktanya (di cerita versi Francis), Dasima pindah dari dunia putih dari tuannya ke dunia hitam milik pribumi," tulis Umar Junus.
Status 'nyai' di era penjajahan tercitra tidak sepenuhnya baik. Nyai bukan hanya sekadar gelar panggilan kehormatan untuk perempuan, namun terasosiasi dengan status 'gundik orang Eropa/Belanda/Inggris'.
"Nyai Dasima yang ditulis oleh G Francis disebut sebagai karya antimuslim yang pada masa itu berarti antipribumi," demikian tulis Ensiklopedia Sastra Indonesia dalam situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
![]() |
Kisah Dasima kemudian ditulis ulang oleh Rustam Sutan Palindih pada 1940. Palindih merupakan redaktur Balai Pustaka (1922). 'Nyai Dasima' berubah menjadi 'Dasima' saja, karena Dasima versi Palindih bukan lagi nyai dari pria kulit putih, tapi istri sah dari seorang pria kaya.
Palindih mengganti sosok Tuan W dengan karakter pribumi kaya bernama Winata. Pasangan Winata-Dasima adalah pasutri yang sah, bukan pasangan kumpul kebo, hanya saja Dasima tidak puas karena Winata terlalu sibuk dengan bisnisnya.
Selanjutnya, kisah Dasima juga ditulis ulang oleh SM Ardan pada 1965. Versi SM Ardan kembali memakai karakter Edwar W, kali ini ditulis sebagai Edward Williams. Tidak seperti versi G Francis, SM Ardan membuat karakter Edward Williams sebagai pria penyiksa Dasima dan tidak menghargai Dasima.
Dalam kisah Nyai Dasima versi SM Ardan, karakter-karakter pribumi cenderung protagonis dan baik, kecuali Hayati si istri pertama Samiun yang jahat dan suka judi.
"Teks Francis adalah sebuah diskursus kolonial, sedangkan teks Ardan menjadi versi poskolonialnya," kata Umar Junus.