Jakarta -
Pieter Erberveld menjadi tokoh 'urban legend' Jakarta. Gema dari kisahnya yang heroik namun tragis ternyata masih terdengar di gang sempit kampung yang dihuni warga Tionghoa Ibu Kota ini.
Menelusuri jejak sang legenda Pieter Erberveld dari abad ke-18, detikcom sampai di Kampung Pecah Kulit, yakni di RW 01, Kelurahan Pinangsia, Kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat.
Menurut Alwi Shahab dalam buku 'Betawi: Queen of The East', Kampung Pecah Kulit adalah petilasan eksekusi sadis terhadap Pieter Erberveld.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kampung Pecah Kulit, Pinangsia, Tamansari, Jakarta Barat. (Danu Damarjati/detikcom) |
Melangkah lebih dalam dari Vihara Khema, warga senior duduk di atas bangku depan gang. Dia adalah Supandi, pria 54 tahun. Dia adalah perwakilan Lembaga Musyawarah Kelurahan (LMK) RW 01, Kelurahan Pinangsia. Di sebelahnya ada Ketua RW 01 bernama Haryanto atau Panli (nama Tionghoa), berusia lebih muda.
Kampung Pecah Kulit, Pinangsia, Taman Sari, Jakarta Barat. (Danu Damarjati/detikcom) |
Di sisi lain, ada ibu-ibu serta anak-anak kecil yang berkumpul di depan portal. Banyak gang yang ditutup karena situasi virus Corona akhir-akhir ini. Meski jabat tangan belum bisa dilakukan, meski masker harus dikenakan, tapi situasi pandemi tak mengurangi keramahan mereka menyambut tamu dari luar kampung seperti saya.
Tonton juga video 'Urban Legend: Menara Saidah dan Rumor Gedung Berhantu':
[Gambas:Video 20detik]
Selanjutnya, jejak-jejak Pieter Erberveld dalam cerita turun-temurun warga Pecah Kulit:
Jejak-jejak Pieter Erberveld
Supandi mulai menceritakan kisah turun-temurun yang dia warisi dari orang-orang tua Kampung Pecah kulit. Dia menyebut nama Peter, sebutan populer untuk Pieter Erberveld.
"Menurut cerita turun-temurun, dulu dia menetap di mari. Dia pro-pribumi dan bergaul dengan orang-orang China," kata Supandi, Rabu (16/12/2020).
Supandi di Kampung Pecah Kulit, Pinangsia, Taman Sari, Jakarta Barat. (Danu Damarjati/detikcom) |
Kampung ini adalah saksi sejarah Batavia yang sibuk sejak zaman VOC. Lokasi ini berada persis di sisi luar tembok batas kota Batavia lama, dulu pusat Batavia ada di lokasi yang disebut sebagai Kota Tua saat ini.
Ada kali di sebelah kampung, orang sini menyebutnya sebagai Kali Pecah Kulit atau Kali Tangki, meski sebenarnya ini adalah anak sungai Kali Ciliwung. Di zaman Batavia, Kali Pecah Kulit ini berukuran besar sehingga bisa dilalui kapal-kapal.
"Dulu Kampung ini adalah tempat transit kapal ke darat, China Town dengan banyak kedai-kedai," kata dia.
Kali Pecah Kulit atau Kali Tangki, Jakarta Barat. (Danu Damarjati/detikcom) |
Pieter Erberveld hidup bersama masyarakat. Meski dia adalah pria keturunan Eropa-Asia (Jerman-Siam), namun Pieter Erberveld lebih berpihak kepada orang pribumi ketimbang mendukung penjajah Belanda.
Pieter dituduh pemerintah kolonial merencanakan pembunuhan terhadap orang-orang Belanda. Perburuan aparat terhadap Pieter berkali-kali tidak membuahkan hasil, karena dipercaya Pieter punya kesaktian. Namun toh akhirnya Pieter dan pengikutnya bisa ditangkap aparat Hindia-Belanda.
"Ada satu bocoran, dia hanya bisa mati kalau diikat delapan kuda. Semua diikat, kudanya lari, sehingga terpecah-pecah tubuhnya. Orang Belanda melakukan itu," kata Supandi menyampaikan kembali legenda yang pernah dia dengar tentang Pieter.
Selanjutnya, lokasi eksekusi Pieter Erberveld:
Maka Belanda mengeksekusi Pieter dengan cara kejam itu. Tubuh Pieter diikat dan disambungkan ke delapan kuda. Masing-masing kuda kemudian menarik tubuh Pieter ke delapan penjuru arah mata angin. Tercerai-berailah tubuh Pieter.
"Lokasi tepatnya ada di lapangan yang sekarang sudah menjadi bangunan pabrik handuk, dulu adalah pabrik kulit. Tapi di zaman Belanda, itu adalah lapangan tempat eksekusi Pieter," kata Supandi.
 Salah satu pojokan Pasar Pecah Kulit, dulu diyakini menjadi lokasi eksekusi Pieter Erberveld. Supandi menunjuk pohon yang dulu diyakini menjadi tambatan kuda pengeksekusi Pieter Erberveld. (Danu Damarjati/detikcom) |
Dia menunjukkan satu lokasi tempat pohon asem berukuran besar pernah menjulang. Pohon asem itu konon menjadi tambatan tali kuda penarik tubuh Pieter. Kini pohon asem sudah tidak ada, berganti bangunan kontrakan di pojok gang buntu di belakang ruko. Semua kisah itu kemudian terabadikan dalam nama kampung ini, 'Pecah Kulit', menggambarkan kondisi pecahnya kulit sang pahlawan karena ditarik kuda.
"Dinamakanlah tempat ini sebagai pecah kulit. Pecah Kulit dulu dikenal sebagai tempat yang lumayan angker, di sini adalah tempat orang-orang Chinese yang nggak takut terhadap pemerintah kolonial. Banyak orang sakti mandraguna dan jawara China di sini," ujar Supandi.
Kampung Pecah Kulit, Pinangsia, Tamansari, Jakarta Barat. (Danu Damarjati/detikcom) |
Kepala Pieter diambil dan dipancangkan di atas pagar kawasan ini. Setelah Pieter dieksekusi mati, Belanda tidak ingin orang-orang serupa yang sok pahlawan membela rakyat muncul di Batavia. Belanda lantas mendirikan monumen di dekat Kampung Pecah Kulit dengan tengkorak Pieter di atasnya.
"Sebagai kenangan dari pengkhianat Peter Erbervelt, tidak seorang pun kini boleh membangun, membuat, meletakan batu atau menanam di tempat ini," begitulah terjemahan dari kalimat berbahasa Belanda di monumen itu.
Monumen Pieter Erberveld di Jacatraweg Batavia (sekarang Jl Pangeran Jayakarta Jakarta), foto tahun 1900-1918. (Public Domain/National Museum of World Cultures via Wikimedia Commons) |
Waktu berjalan, monumen itu tetap berdiri sampai berusaha dihancurkan pada zaman Jepang, 1942. Namun batu prasasti masih dapat diselamatkan. Pada masa-masa selanjutnya, tengkorak Pieter di atas monumen diganti dengan tengkorak tiruan, namun nama Pieter Erberveld tetap terpatri. Hanya saja, monumen itu kemudian dipindahkan dari tempat aslinya. Supandi menunjukkan lokasi asli dari monumen Pieter Erberveld.
"Sekarang, lokasi monumen itu menjadi diler Toyota di pinggir Jalan Pangeran Jayakarta," kata Supandi. Keterangan Supandi ini juga sama dengan catatan yang dituangkan Alwi Shahab dalam bukunya.
Dulu di lokasi tersebut sempat berdiri monumen peringatan Pieter Erberveld. (Danu Damarjati/detikcom) |
Batu asli dari monumen Pieter Erberveld kemudian ditempatkan di Museum Sejarah Jakarta (Museum Fatahillah), Kota Tua. Replika monumen dalam bentuk yang persis sama dibangun lagi di Museum Prasasti, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini