Pengamat politik menilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) terlambat melakukan perombakan atau reshuffle kabinet. Namun, dalam memilih 6 nama menteri baru itu, Jokowi dinilai menunjukkan sisi presidensial.
"Pertama kalau dilihat dari sisi waktu reshuffle kali ini relatif terlambat, terutama kalau kita kaitkan dengan kinerja dari beberapa menteri yang under perform. Terutama lagi kalau dikaitkan dengan respons kementerian yang bersangkutan terkait dengan pandemi," kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, dalam acara D'Rooftalk: 'Membaca Strategi Jokowi Memilih Menteri', Rabu (23/12/2020).
Burhanuddin menilai menteri kesehatan harusnya diganti lebih awal. Akan tetapi dia meyakini Jokowi memiliki beberapa pertimbangan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sebenarnya Menteri Kesehatan sejak lama harus di-reshuffle. Tapi mungkin presiden punya pertimbangan, salah satunya adalah pilkada serentak yang baru saja selesai, yang berikutnya tentu ada situasi yang memaksa cepat atau lambat reshuffle harus dilakukan," kata dia.
Ada tiga faktor yang mengharuskan Jokowi melakukan perombakan kabinet, kata Burhan. Salah satunya adalah 2 menteri Jokowi terjerat kasus korupsi, yaitu Juliari Batubara saat menjabat Menteri Sosial dan Edhy Prabowo, Menteri Kelautan dan Perikanan.
"Ada tiga yang saya lihat. Pertama adalah makin mendesak ketika 2 menteri tercokok KPK, jadi 2 menteri ini mau tak mau harus diisi, tidak perlu menunggu waktu yang terlalu lama," jelas dia.
Selain itu, Burhan menilai sejumlah menteri yang memiliki kinerja yang buruk sehingga harus diganti. Serta menteri yang dinilai akan mengganggu stabilitas kerja Kabinet Indonesia Maju.
"Kedua terkait dengan menteri-menteri yang performanya buruk, bukan hanya Menteri Kesehatan misalnya kita sebut Menteri Pariwisata Ekonomi Kreatif yang begitu banyak memunculkan kritiknya dari kalangan. Kemudian yang ketiga adalah menteri yang bom waktu kalau tidak di-reshuffle sekarang," kata Burhan.
"Kenapa saya sebut bom waktu? Karena menteri-menteri yang bersangkutan bisa saja akan menjadi semacam drama KPK berikutnya kalau tidak di-reshuffle. Jadi tiga alasan ini kemudian dilakukan seorang Jokowi dan saya melihat menteri hasil reshuffle sekarang terkait dengan kebutuhan menjawab tantangan ini relatif baik. Jadi satu sampai 10, saya kasih 7,5. Kalau dibandingkan kabinet kedua itu, saya kasih nilai buruk sekali, kalau sekarang saya akui relatif lebih baik," sambungnya.
Meski dinilai terlambat, menurut Burhan pada reshuffle kali ini, Jokowi menunjukkan sisi presidensial. Burhan menilai Jokowi menjadi pemimpin dan tidak dikendalikan oleh partai koalisi dalam perombakan kabinet kali ini.
Burhan kemudian menyinggung pemilihan Tri Rismaharini sebagai Menteri Sosial. Dia juga memaparkan Sandiaga Uno yang ditunjuk menjadi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
"Misalnya seorang Risma meskipun dia seorang politisi dari PDIP, siapa yang meragukan kapasitas seorang Risma yang pernah mendapatkan dari KPK e-government. Kemudian Sandi, Sandiaga Uno meskipun Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra tetapi beliau punya potensial untuk bicara soal pariwisata dan ekonomi kreatif. Seorang Sandi punya jam terbang yang mungkin bisa memberikan semacam terobosan," tutur dia.
"Dua-duanya berasal dari partai politik, bukan partai menyerahkan dua nama itu saja, dugaan saya ada banyak nama. Tapi Jokowi menunjukkan, saya sebutkan, menampilkan sisi presidensial yang seharusnya ditunjukkan bahkan saat pembentukan kabinet keduanya, bukan sekadar untuk reshuffle sekarang," sambungnya.