"Konsep surat dari staf Kabag dilaksanakan tanggal demikian secara admin," jawab Slamet.
Setelah jaksa, hakim ketua Muhammad Damis lantas juga menyoroti jeda waktu surat balasan yang dikirim Divhubinter. Slamet mengaku alasan jeda waktu lama itu karena saat itu Kadivhubinter sedang ada agenda penangkapan Maria Lumowa di Serbia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pertanyaannya, kenapa Interpol ini sangat jauh (waktunya) menyikapi permintaan dari Kejagung, padahal sifat surat yang dikirim Kejagung bersifat sangat segera, amat sangat segera? Kenapa (balas surat, red) hampir 2 bulan?" tanya hakim.
Menurut Slamet, saat itu Divhubinter Polri sedang fokus pada penangkapan Maria Lumowa. Berkali-kali, Divhubinter menggelar rapat bersama.
"Waktu itu terjeda pada saat proses kita persiapan keberangkatan untuk menjemput Maria Paulin Lumowa. Menjemput MPL ke Serbia, kita rapat berkali-kali untuk mempersiapkan itu. Sehingga itu tertunda kalau nggak salah," jawab Slamet.
Duduk sebagai terdakwa di sidang ini adalah Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra. Djoko Tjandra didakwa bersama dengan Tommy Sumardi memberikan suap ke 2 jenderal polisi, yaitu Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetijo Utomo.
Suap yang diberikan ke Irjen Napoleon sebanyak SGD 200 ribu dan USD 270 ribu. Bila dikurskan, SGD 200 ribu sekitar Rp 2,1 miliar, sedangkan USD 270 ribu sekitar Rp 3,9 miliar lebih, sehingga totalnya lebih dari Rp 6 miliar.
Lalu, suap kepada Brigjen Prasetijo sebesar USD 150 ribu. Bila dikurskan, USD 150 ribu sekitar Rp 2,1 miliar.
(zap/jbr)