Anies Pamer Buku 'How Democracies Die', PKB: Semoga Tak Ketularan Pesimis

Anies Pamer Buku 'How Democracies Die', PKB: Semoga Tak Ketularan Pesimis

Rahel Narda Chaterine - detikNews
Senin, 23 Nov 2020 12:38 WIB
Faisol Riza
Faisol Riza (Erlangga/dpr.go.id)
Jakarta -

Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, mengunggah foto dirinya sedang membaca buku berjudul 'How Democracies Die' di akun media sosialnya. PKB menilai unggahan tersebut dapat ditafsirkan dengan interpretasi yang berbeda-beda.

"Baca buku tentu bagus untuk para pemimpin agar tidak buta arah. Saya kira foto biasa saja dan orang bisa menafsirkannya dengan macam-macam," kata Ketua DPP PKB Faisol Riza kepada wartawan, Senin (23/11/2020).

Faisol kemudian mempertanyakan alasan Anies memilih buku yang biasanya dibaca oleh orang-orang yang dianggapnya pesimis. Ia pun berharap Anies tidak ikut menjadi pesimistis.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Seperti saya misalnya, bisa bertanya kenapa buku yang dipilih adalah buku kesukaan orang-orang yang pesimis tentang Eropa Barat dan Amerika Latin. Semoga Om Anies nggak ketularan pesimis," ujarnya.

Anies Baswedan sedang membaca 'How Democracies Die' (Dok.  Instagram)Anies Baswedan sedang membaca 'How Democracies Die' (Dok. Instagram)

Lebih lanjut, Ketua Komisi VI DPR RI ini mengatakan tidak ada alasan bagi masyarakat untuk menjadi pesimistis terhadap situasi demokrasi di Indonesia. Sebab, ia menilai sistem demokrasi di Tanah Air masih sangat kokoh.

ADVERTISEMENT

"Saya tidak pandai menilai. Tapi demokrasi di Indonesia sangat kokoh. Tidak ada alasan pesimistik," ujarnya.

Pada Minggu (22/11) pagi, diketahui, Anies mengunggah foto diri memakai baju koko berwarna putih dan sarung berwarna cokelat. Di situ, Anies terlihat sedang fokus membaca buku berjudul 'How Democracies Die' sambil duduk menyilangkan kaki. Ia duduk di depan rak buku yang menjadi latar belakangnya.

Apa isi buku yang dibaca Anies? Selengkapnya di halaman berikutnya.

Sebagai informasi, buku 'How Democracies Die' merupakan karya penulis profesor Harvard, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. Buku tersebut membahas beberapa pemimpin di dunia yang terpilih melalui Pilpres tetapi lekat dengan label 'diktator'.

Dalam bukunya, mereka mencatat bahwa kemunculan beberapa pemimpin diktator justru merupakan hasil dari pemilu. Demokrasi mati bukan karena pemimpin diktator yang memperoleh kekuasaan lewat kudeta, melainkan justru yang menang melalui proses pemilu.

Setidaknya hal ini mereka catat saat Donald Trump, yang diusung oleh Partai Republik, menang pada Pilpres Amerika Serikat tahun 2016. Trump unggul atas kandidat Partai Demokrat, Hillary Clinton. Padahal banyak lembaga survei lokal yang memprediksi kekalahan Trump. Trump diduga kuat menang karena berhasil memainkan isu rasisme kulit hitam dan menebarkan ketakutan melalui hoax.

Begitu terpilih, Trump langsung mengeluarkan pernyataan kontroversial yang semakin memunculkan kesan dia sebagai diktator. Beberapa di antaranya pernyataan perang yang diumumkan lewat akun Twitter pribadinya, rencananya membangun tembok perbatasan Meksiko-Amerika Serikat; kebijakan luar negeri Korea Utara dan Afghanistan yang memicu perang; reformasi pajak; sikapnya arogan pada media yang mengkritiknya, ketidakpercayaannya pada fenomena perubahan iklim; hingga yang paling kontroversial soal pengakuan Trump atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Pada buku 'How Democracies Die', selain di Amerika Serikat, Brasil, Filipina, dan Venezuela, fenomena 'soal pemimpin yang menang pemilu namun terkesan diktator' ini terjadi di beberapa negara lain, misalnya Peru, Polandia, Rusia, Sri Lanka, Turki, dan Ukraina.

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads