Di Beijing, 5 Agustus 1965, DN Aidit dan istrinya, bersama Wakil Sekretaris PKI Jusuf Adjitorop bertemu dengan Mao Zedong dan para pemimpin China, termasuk Zhou Enlai, Deng Xiaoping, hingga Liu Shaoqi. Aidit melaporkan soal kondisi kesehatan Sukarno yang memburuk, yakni menderita cerebral vasospasme, semacam gangguan pembuluh darah di otak.
Taomo Zhou sebagai ilmuwan yang meneliti masalah ini tidak menemukan kejelasan soal bagaimana sikap China sebenarnya soal kondisi di Indonesia saat itu. Taomo Zhou hanya menduga Mao Zedong menyarankan secara tidak langsung agar Aidit menyiapkan perundingan damai dan perjuangan angkat senjata. Yang jelas, Aidit memberi tahu Beijing soal rencananya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beijing dinilainya tidak tahu bahwa bakal ada gerakan bersenjata pad 30 September 1965. Soalnya, pemilihan tanggal itu tentu menegangkan sekali, mengingat perayaan Hari Nasional China adalah 1 Oktober. Beijing sendiri tahu soal G30S pertama kali dari media massa, bukan dari informasi kedutaan di Indonesia. Beijing sempat seharian kehilangan kontak dengan kedutaannya di Jakarta. Kantor The New China News Agency (Xinhua) Jakarta juga terblokir total.
"Sumber informasi Beijing yang tersedia hanyalah berita yang tersedia dari Associated Press, Agence France-Presse, dan Reuters," tulis Taomo Zhou.
Baca juga: Gaduh PKI di Ujung September |
Pada 1 Oktober 1965, Perdana Menteri RRC Zhou Enlai memahami G30S sebagai upaya kudeta yang dilancarkan Dewan Jenderal ketimbang upaya kudeta yang dilancarkan PKI. Menteri Luar Negeri RRC Chen Yi dan Perdana Menteri Korea Utara Ri Ju-yeon sempat ngobrol soal G30S, kesimpulannya mereka bedua sama-sama bingung soal apa yang sedang terjadi di Indonesia.
Barulah pada 2 Oktober, lingkaran pembuat kebijakan internasional di China menyimpulkan bahwa PKI lewat Dewan Revolusi telah gagal melancarkan kudeta terhadap Presiden Sukarno saat G30S, dan Soeharto telah mengambil alih situasi.
Baca juga: Isu Kebangkitan PKI di Mata Survei |
Sempat, pemerintah RRC berharap nantinya pemerintah Indonesia bakal diisi oleh orang-orang kiri. China menaruh harapan tinggi terhadap Sukarno sebagai 'game-changer' di kancah politik internasional.
Peristiwa di Kedutaan RRC di Jakarta lantas membuat kepercayaan dari RRC terhadap RI menurun. Saat itu, tentara Indonesia menyuruh Kedutaan RRC di Jakarta menurunkan benderanya menjadi setengah tiang untuk menghormati gugurnya para jenderal di G30S. Kedutaan RRC menolak. Selanjutnya, militer Indonesia mencari asrama staf Kedutaan China dan warga China yang dipekerjakan untuk mendukung CONEFO. Ada pula persekusi-persekusi terhadap etnis China di Indonesia. RRC lantas kehilangan kepercayaan terhadap Sukarno. Di mata Perdana Menteri Zhou Enlai, Sukarno sudah tidak berdaya mengendalikan situasi.
Menteri Luar Negeri RRC Chen Yi justru melihat situasi kacau di Indonesia ini adalah peluang bagi PKI untuk berjaya. Chen Yi berpendapat, Sukarno biar terjungkal saja supaya nanti PKI bisa berkuasa lewat revolusi bersenjata. Mereka berharap, PKI bisa melakukan revolusi bersenjata pada November 1965. Harapan semacam ini diungkapkan Chen Yi kepada Perdana Menteri Korut RI Ju-yeon.
"Secara pribadi, saya berpikir akan menjadi hal yang baik bila Sukarno lengser. Sukarno bisa segera menengahi sayap kanan dan kiri. Namun masa depan Indonesia tergantung pada perjuangan bersenjata PKI. Ini adalah hal yang paling penting," kata Chen Yi.
Kenyataannya, PKI ditumpas habis. Harapan Chen Yi tidak pernah menjadi kenyataan. Perdana Menteri Zhou Enlai juga enggan terlalu jauh mencampuri urusan dalam negeri Indonesia.
![]() |
Pada 1966, Beijing secara terbuka mengumumkan menentang rezim Soeharto, usai mahasiswa-mahasiswa sayap kanan dan tentara Indonesia menyerang Kedutaan RRC pada April tahun itu. Di sisi lain, pihak militer Indonesia semakin menuduh bahwa Beijing terlibat pada G30S/PKI.
Jadi, apakah ada peran komunis China pada G30S/PKI?
"Yang terpenting, Mao bukanlah 'arsitek dari kudeta'. Kelompok rahasia dalam tubuh PKI bergerak sendiri untuk membuat rencana, kemudian disampaikan oleh Aidit kepada para pemimpin China di kemudian hari, dan akhirnya pelaksanaannya di Indonesia membuat Beijing terkejut," tulis Taomo Zhou.
Taomo Zhou menulis penelitiannya berdasarkan arsip yang diperoleh dari pemerintah China. Pada November 2008, Kementerian Luar Negeri RRC untuk pertama kalinya membuka dokumen antara tahun 1961 hingga 1965. Dokumen yang berkaitan dengan Indonesia berjumlah 250 berkas dan terdiri lebih dari 2 ribu halaman. Namun pada 2013, Kemlu RRC menutup lagi akses terhadap dokumen itu, kecuali untuk sedikit peneliti China.
(dnu/fjp)