ICW mengusulkan pembentukan tim internal di Mahkamah Agung (MA) untuk menyelidiki oknum lain di kasus suap yang menjerat mantan Sekretaris MA, Nurhadi Abdurrachman. MA menolak usulan ICW tersebut.
"Menurut MA, ikut menyelidik internal dan membentuk tim di MA terkait kasus Pak Nurhadi, kami rasa tidak perlu," ujar jubir MA, hakim agung Andi Samsan Nganro saat dihubungi detikcom, Senin (21/9/2020).
MA menyerahkan proses tersebut ke aparat penegak hukum. MA menunggu hingga proses di KPK selesai.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sebab, perkara Nurhadi sudah ditangani aparat penegak hukum dalam hal ini KPK. Apalagi Pak Nurhadi bukan lagi berstatus sebagai pejabat/pegawai di MA maka sebaiknya kita tunggu saja perkembangan dari proses hukum yang kini sedang berjalan di tangani KPK," ujar Andi.
Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai seharusnya ada peran aktif pula dari MA membantu KPK dalam perkara ini. Sebab, menurut ICW, terdapat oknum-oknum lain di tubuh MA sebagai institusi yang dulunya memberikan amanah pada Nurhadi sebagai salah satu pejabat tinggi.
"Maka dari itu, ICW dan Lokataru mendesak agar Ketua Mahkamah Agung segera membentuk tim investigasi internal untuk menyelidiki lebih lanjut perihal keterlibatan oknum lain dalam perkara yang melibatkan Nurhadi dan agar kooperatif dan bekerja sama dengan KPK untuk dapat membongkar tuntas perkara korupsi di internal MA," kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana.
Selain itu, ICW juga meminta MA agar bersikap kooperatif. Pada awal Agustus lalu KPK memanggil sejumlah hakim agung tapi MA disebut ICW resisten.
"MA justru terlihat resisten dengan mendalihkan adanya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2020. Padahal dalam penegakan hukum dikenal asas equality before the law, yang mengamanatkan bahwa setiap orang tidak berhak untuk mendapatkan perlakuan khusus," ucap Kurnia.
"Tak hanya itu, Pasal 112 KUHAP juga telah menegaskan bahwa penyidik dapat memanggil saksi maupun tersangka dan kedua subjek tersebut wajib hukumnya memenuhi panggilan penegak hukum. Jadi tidak tepat jika dalih SEMA digunakan untuk menghindari proses pemeriksaan di KPK," imbuh Kurnia.
Nurhadi ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK bersama menantunya, Rezky Herbiyono, dan Direktur PT MIT Hiendra Soenjoto sebagai tersangka dalam kasus ini. Ketiganya dijerat sebagai tersangka kasus suap dan gratifikasi senilai Rp 46 miliar terkait pengurusan sejumlah perkara di MA. Penerimaan tersebut terkait dengan perkara perdata PT MIT melawan PT Kawasan Berikat Nusantara (Persero) pada 2010.
Kemudian, pada Senin (1/6) malam, KPK menangkap Nurhadi dan Rezky Herbiyono di sebuah rumah di kawasan Simprug, Jakarta Selatan. Nurhadi dan Rezky ditangkap KPK setelah menjadi buron selama hampir 4 bulan.
Kedua tersangka itu kini ditahan di Rutan KPK. Namun hingga kini Hiendra Soenjoto belum juga tertangkap.