Dengan demikian, akhirnya data yang ada pun tidak real time seperti yang terjadi. Padahal, menurutnya, kondisi semacam itu selalu bergerak secara dinamis.
"Pengaturan secara detil seperti itu, yang tadi dengan sistem rujukan itu juga belum real time, belum interoperable. Kalau misalnya satu rumah sakit sudah penuh ruang ICU-nya, belum tentu penuh ruang isolasinya, belum tentu ruang rawatnya juga. Jadi itu gunanya sistem informasi yang terintegrasi, interoperable," tuturnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sekarang begini, harusnya yang penuh segera bisa merujuk orang yang mau masuk lagi atau dari satu RS itu terjadi perburukan butuh ICU kan bisa dirujuk ke rumah sakit lain yang ada ICU-nya. Kalau nggak tahu informasi langsung, kan susah. Apa mau nanya satu-satu nelepon? Ini Jakarta lho yang kita bicarakan. Kalau daerah lain mungkin kondisinya lain, tapi seharusnya dengan sistem informasi yang ada kan bisa harusnya dilakukan gitu. Kalau nggak, ya manual tiap hari teleponin saja satu-satu di kabupaten dan kota tertentu, rumah sakit apa, dinkesnya telepon satu-satu terus," lanjut Wiku.
Meski begitu, Wiku tak membantah jika kasus yang ada di DKI terus meningkat. Namun dia menegaskan bukan berarti rumah sakit yang ada tidak bisa menampung itu.
"Karena kenyataannya datanya memang menunjukkan masih ada rumah sakit rujukan yang kosong, termasuk Rumah Sakit Atlet. Iya memang kasus naik, naik kan tidak serta-merta (ICU) penuh. Kalau mau menuju penuh, kan (pasien) masih bisa digeser. RS Wisma Atlet kan besar, sudah dijelaskan ada tower tower-nya, jadi masih ada ribuan dan keluar-masuk juga. Jadi jangan melihat kayak ada sesuatu yang heboh. Heboh karena nggak ngerti, nggak baca data," kata Wiku.
Akhirnya, kata Wiku, persoalan pendataan yang tidak terkoordinasi dan ternavigasi dengan baik ini pun memicu keputusan PSBB tersebut. Padahal nyatanya ada 67 RS rujukan COVID-19 yang ada di DKI Jakarta dan masih bisa menangani pasien.
"Pahami dulu kaitannya sama bed tadi, itu kan sebenarnya trigger (pemicu) untuk mau katakan PSBB atau apa pun itu namanya tadi, tapi isu PSBB itu kan kaitannya penuhnya rumah sakit. Penuhnya rumah sakit itu kan dilihat pada saat itu orang nyari-nyari nggak ketemu bed-nya, padahal Jakarta RS rujukan ada 67. Kalau orang bolak-balik gitu, ya penuh semua, karena nggak ada desk cord navigasi data yang interoperable, sehingga terus mengatakan ini perlu di PSBB, perlu diketatkan gitu," ujarnya.
(maa/isa)