Namun PAN kemudian berada di ambang perpecahan seusai kongres PAN yang digelar di Hotel Claro, Kendari, Sulawesi Tenggara (12/2). Kongres ini diwarnai kekacauan sampai ada insiden saling lempar kursi. Zulkifli Hasan pun akhirnya terpilih menjadi Ketum PAN mengalahkan Mulfachri Harahap, yang notabene jagoan Amien Rais.
Perpecahan semakin tampak ketika nama Amien Rais tak ada di kepengurusan PAN yang baru. Puncaknya, Amien Rais mengaku dikeluarkan dari PAN. Bermula dari sini, gagasan membentuk PAN Reformasi pun muncul.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kemudian saya tidak di PAN sama sekali. Saya sudah dikeluarkan anak buah saya, karena berbeda prinsipnya," kata Amien dalam perbincangan dengan Tengku Zulkarnain yang tayang di YouTube, seperti dilihat detikcom, Kamis (23/7).
Bukan Parpol Pertama Pecah Faksi
Jika jadi dideklarasikan, PAN Reformasi bukan parpol pertama yang berdiri karena pecah faksi. Sebelumnya, sudah ada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), yang sejak awal hingga kini dipimpin Megawati Soekarnoputri.
PDIP merupakan partai yang terbentuk dari konflik di tubuh Partai Demokrasi Indonesia (PDI). PDI didirikan pada 10 Januari 1973, yang merupakan fusi (penggabungan) dari beberapa partai, yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Partai Murba), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), dan dua partai keagamaan Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Partai Katolik.
Dalam perjalanannya, pada 1993 Megawati terpilih menjadi Ketua Umum DPP PDI. Ada cerita menarik di balik terpilihnya Megawati sebagai Ketum. Mulanya, kongres PDI 1993 yang diselenggarakan di Medan tak menghasilkan keputusan apa pun. Namun, saat itu pemerintah Orde Baru (Orba) mendukung Budi Harjono untuk jadi Ketum PDI menggantikan Soerjadi. Pada kongres luar biasa di Surabaya, Megawati menang. Keputusan ini dikuatkan pada Musyawarah Nasional PDI di Jakarta.
Pemerintah Orba tak rela Megawati jadi Ketum PDI. Maka lewat Fatimah Ahmad cs, digelarlah Kongres Medan 1996 untuk mengembalikan Soerjadi sebagai Ketum PDI. Tapi Mega tak mengakui kongres tersebut.
Pemerintah Orba pun mengatur siasat dengan menciptakan dualisme kepemimpinan pada tubuh PDI. Berdasarkan kongres yang digelar 20 hingga 23 Juni 1996 di Medan, Soerjadi terpilih menjadi Ketua Umum PDI.
Lantas, dualisme kepimpinan dalam tubuh PDI ini berlanjut menjadi konflik antarpendukung ketum pada 1996. Peristiwa itu terjadi tepatnya pada 27 Juli 1996 atau dikenal sebagai peristiwa Kudatuli, yang merupakan akronim dari tanggal kerusuhan. Para pendukung masing-masing ketum bentrok di kantor DPP PDI, Jalan Diponegoro 58, Menteng, Jakarta.
Pemerintah Orba menuding beberapa kelompok prodemokrasi bertanggung jawab atas peristiwa ini. Namun Megawati masih duduk di pucuk kepemimpinan PDI.
Meskipun begitu, Megawati tetap tak direstui pemerintah Orba. Maka PDI pimpinan Mega akhirnya gagal ikut Pemilu 1997. Saat Orba tumbang, PDI pimpinan Megawati menguat lagi. Kemudian partai ini mengubah namanya menjadi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Pemilu 1999, PDIP menang. Megawati muncul sebagai calon terkuat presiden. Tapi Sidang Umum MPR justru memenangkan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai presiden. Megawati jadi wakilnya. Kendati demikian, ternyata posisi wakil presiden justru jadi batu loncatan Megawati untuk jadi presiden. Pada 23 Juli 2001 secara aklamasi, anggota MPR memilih Megawati menjadi presiden menggantikan Gus Dur. Megawati menjabat sebagai presiden hingga 20 Oktober 2003. Selanjutnya, presiden dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu.
(rdp/jbr)