"Setelah mengkriminalisasi, lalu meminta Interpol untuk mengeluarkan 'red notice', dan mengancam untuk membatalkan paspor saya, kini pemerintah memaksa saya untuk mengembalikan beasiswa yang pernah diberikan kepada saya pada September 2016. Adapun jumlah dana yang diminta adalah sebesar IDR 773,876,918," tutur Vero.
Menurut Vero, penagihan dana beasiswa itu muncul karena dia disebut tidak memenuhi ketentuan untuk kembali ke Indonesia usai masa studi. Namun, Vero mengklaim dirinya kembali ke Indonesia pada September 2018 setelah menyelesaikan program Master of Laws di Australian National University.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, Vero juga mengklaim dirinya melanjutkan dedikasi waktu untuk advokasi HAM, termasuk dengan mengabdi di Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia untuk Papua (PAHAM Papua) yang berbasis di Jayapura. Dia sempat pergi ke Swiss untuk melakukan advokasi di PBB pada Maret 2019 dan kembali ke Indonesia setelahnya.
"Saya memberikan bantuan hukum pro-bono kepada para aktivis Papua pada tiga kasus pengadilan yang berbeda di Timika sejak April hingga Mei 2019," ungkapnya.
"Saya lalu berkunjung ke Australia dengan menggunakan visa tiga bulan saya untuk menghadiri wisuda yang diselenggarakan pada Juli 2019. Ketika berada di Australia pada Agustus 2019, saya dipanggil oleh kepolisian," sambungnya.
Lebih lanjut, Veronica Koman meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani bersikap adil dalam hal ini. "Melalui surat ini, saya meminta kepada Kemenkeu terutama Menteri Sri Mulyani untuk bersikap adil dan berdiri netral dalam melihat persoalan ini sehingga tidak menjadi bagian dari lembaga negara yang hendak menghukum saya karena kapasitas saya sebagai pengacara publik yang memberikan pembelaan HAM Papua," tegasnya.
(rdp/imk)